Senin, 07 Juni 2021

Waspada Perusak-Perusak Ilmu

Di antara perusak-perusak ilmu yang diperingatkan oleh para ulama dan harus dijauhi oleh para tholabatul 'ilmi adalah sebagai berikut:

(1). Kelalaian.

Lalai menjadi penghalang terbesar bagi para pembelajar untuk memahami ilmu yang dipelajarinya. 

Allah berfirman,

ولا تكن من الغافلين

“Janganlah engkau termasuk orang-orang yang lalai.” (Al-A’rof: 205)

Lawannya lalai adalah kesungguhan dan kesabaran. Dari Abu Huroiroh bahwa Rosulullah ﷺ mengingatkan, “Bersemangatlah dalam meraih hal bermanfaat bagimu dan minta tolonglah pada Allah dan jangan merasa lemah.” (HR. Muslim 2664)

Lihat bagaimana kesungguhan dan kesabaran para ulama dalam tholabul 'ilmi. Di antara mereka ada yang mempelajari kitab "Shohih Al-Bukhari" hanya beberapa malam seperti Al-Khothib Al-Baghdadi.

Ada yang menghabiskan waktunya dalam sehari untuk mempelajari 12 bab ilmu yang berlainan seperti Al-Imam An-Nawawi. 

Berkat kesungguhan dan kesabaran Allah karuniakan baiknya pemahaman dan kesholihan dalam beramal. Sebab itu Yahya bin Abi Katsir mengingatkan puteranya, "Sungguh ilmu ini tidak akan dicapai dengan badan yang santai." 

(2). Ujub.

Ujub artinya kagum terhadap dirinya sendiri lantaran punya kelebihan. Ujub termasuk penyakit hati yang sering tidak disadari oleh penderitanya. 

Al-Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah berkata, “Tidak ada suatu perkara yang lebih merusak amalan daripada ujub dan berlebihan memandang diri berjasa.” (Al-Fawa’id hal. 147)

Pengaruh ujub ini sangat berbahaya karena merusak keikhlasan akibatnya ilmu yang dipelajari tidak barokah. Sedangkan lawan dari ujub adalah tawadhu' dan menyadari aibnya diri.

(3). Kesombongan.

Sombong didefinisikan oleh Nabi ﷺ yaitu menolak kebenaran dan menghinakan manusia.  

Orang yang sombong dengan ilmunya menjadikan dirinya suka berjidal (berdebat) dalam hal yang tidak perlu. Dia mencari-cari dalil untuk mendapat pembenaran, menolak kebenaran, serta melontarkan tuduhan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Perusak ilmu adalah kesombongan.” (Ar-Rodd ‘ala Asy-Syadzili hlm. 207)

Lawannya sombong adalah khudhu' yaitu ketundukan kepada kebenaran.

(4). Mengandalkan Logika.

Beragama dengan otak atik otak ini juga termasuk perusak yang sangat berbahaya. Sehingga seseorang lancang mendahului Allah dan Rosul-Nya ﷺ atau lebih menuruti tradisi daripada mengikuti petunjuk dalil Al-Qur'an was Sunnah dengan bimbingan para salaf. 

Allah berfirman,

يا أيها الذين آمنوا لا تقدموا بين يدي الله ورسوله واتقوا الله إن الله سميع عليم

“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendahului Allah dan Rosul-Nya, bertaqwalah kalian kepada Allah, karena sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Hujurot: 1) 

Al-Imam Al-Auza’i (157 H) berkata, “Wajib engkau berpegang dengan atsar sekalipun orang-orang menolakmu dan hati-hatilah engkau dari logika-logika orang meskipun mereka menghiasinya dengan berbagai omongan. Karena perkara agama ini telah sangat jelas dengan petunjuk Nabi ﷺ dan para shohabat dan bila engkau beragama di atas dasar itu maka engkau telah berjalan di atas shirothol mustaqim.” (Al-Adabus Syar’iyyah 2/70)

(5). Tidak Memperhatikan Adab.

Adab di sini mencakup adab seorang tholib terhadap dirinya, adab dalam mengikuti pelajaran, adab terhadap guru, adab terhadap kawan dan yang lainnya dari adab-adab ilmu.

Bermanfaatnya ilmu seseorang berbanding lurus dengan baiknya adab. Karenanya orang yang beradab terhadap ilmu menunjukkan dia menghargai ilmu sehingga dia pantas mendapatkan ilmunya.

Yusuf bin Al-Husain (304 H) berkata, "Dengan memelihara adab engkau akan mudah memahami ilmu." (Iqtidho'ul 'Ilmi hal. 31)

Al-Imam Al-Qorofi Al-Maliki (684 H) berkata, “Sedikit adab lebih baik daripada banyaknya amal. Ruwaiyim menasihati puteranya, “Wahai anakku, jadikanlah amalmu ibarat garam sedangkan adabmu ibarat tepung. Perbanyaklah adab hingga perbandingan banyaknya seperti perbandingan tepung dan garam dalam sebuah adonan. Banyak adab meski sedikit amal masih jauh lebih baik ketimbang banyak amal namun kurang adab.” (Al-Furuq 4/272)

Fikri Abul Hasan

Menjernihkan Kalimat Tauhid

Ada dua golongan yang disebutkan para ulama yang mengucapkan kalimat tauhid "Laa Ilaaha Illallaah" tetapi tidak mengikhlaskan niatnya dalam beribadah kepada Allah:

(1). Munafiqun.

Mereka orang-orang munafiq yang mengucapkan kalimat tauhid dengan lisan-lisan mereka namun hati mereka kosong dari meyakininya.

(2). Quburiyyun.

Mereka orang-orang yang mengkeramatkan kuburan. Mereka mengucapkan kalimat tauhid dengan lisan-lisannya tetapi tidak mengamalkan kandungannya sehingga mereka menghamba kepada orang yang sudah mati. 

(Fat-hul Waliyyil Hamid hlm. 12)

Maka kalimat tauhid adalah bentuk ikrar seorang hamba bahwa tidak ada satu pihak pun yang berhak diibadahi atau diberikan penghambaan selain Allah.

Namun, kalimat yang agung ini tidak akan berguna bila yang mengucapkannya tidak mengikhlaskan niatnya karena Allah sehingga keyakinannya dan ibadahnya murni hanya untuk Allah semata.

Fikri Abul Hasan

Jujurnya Niat Menyampaikan Tujuan

Kepada saudara-saudaraku kaum muslimin yang sudah terjadwal haji tetapi Allah taqdirkan ditunda keberangkatannya tahun ini, maka bergembiralah bahwa jujurnya niat lebih menyampaikan kepada tujuan daripada amalan.

Anas bin Malik rodhiyallahu 'anhu, “Kami pulang bersama Nabi ﷺ dari perang Tabuk lalu beliau berkata:

إن أقواما خلفنا بالمدينة ما سلكنا شعبا ولا واديا إلا وهم معنا حبسهم العذر

"Sesungguhnya ada beberapa orang yang tertinggal di Madinah yang tidaklah kita berjalan melalui celah bukit dan lembah kecuali mereka juga ikut bersama kita lantaran mereka tercegah oleh udzur yang menghalangi mereka." (HR. Al-Bukhori 2684)

Hadits ini dijelaskan oleh para ulama antara lain Syaikh Al-'Allamah bin Baz rohmatullah 'alaih,

"Niat mereka ingin sekali bergabung bersama kita akan tetapi mereka tercegah oleh udzur yang menghalangi mereka yaitu sakit. Maka orang yang tertahan dari jihad, begitupula tertahan dari sholat jamaah di masjid karena adanya udzur syar'i, dia tetap memperoleh pahala jihad dan pahala sholat dengan sempurna lantaran niatnya yang jujur." 

(Audio "Syarh Riyadhussholihin" via binbaz)

Semoga Allah memudahkan urusan kaum muslimin dan memberi hidayah tawfiq kepada para pemimpin, aamiin.

Fikri Abul Hasan

Senin, 22 Februari 2021

Jangan Keliru Memohon Syafaat

Syafaat Nabi ﷺ pada hari kiamat adalah ketetapan yang disebutkan dalam banyak hadits-hadits shohih dan hal ini telah disepakati oleh para ulama. Tidak ada yang mengingkarinya kecuali ahli bid'ah.

Namun perlu kita ketahui, bahwa memohon syafaat hanya ditujukan kepada Allah semata karena semua syafaat hanya milik Allah ta'ala yaitu dengan berdoa:

اللهم شفع فينا نبيك

(Alloohumma syaffi' fiinaa nabiyyak) “Ya Allah terimalah syafaat Nabi-Mu untuk kami.”

Hanya Allah semata yang membukakan dan mengilhamkan Nabi-Nya ﷺ sehingga beliau memberi syafaat kepada siapa saja yang Allah kehendaki.

Maka syafaat itu akan diperoleh apabila terpenuhi syarat-syaratnya. Para ulama menyebutkan yaitu Allah mengizinkan pemberi syafaat dan meridhoi orang yang diberi syafaat. 

Dalilnya firman Allah ta'ala, “Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah kecuali dengan izin-Nya.” (Al-Baqoroh: 255)

Allah juga berfirman, “Dan betapa banyak para Malaikat di langit yang syafaat mereka tidak berguna sedikitpun, kecuali setelah Allah mengizinkan bagi orang yang Dia kehendaki dan Dia ridhoi.” (An-Najm: 26)

Adapun memohon syafaat kepada Nabi ﷺ setelah beliau wafat maka para ulama mengatakan ini perbuatan syirik besar. Seperti yang diucapkan sebagian orang seraya berdoa, "Wahai Rosulullah ﷺ berikanlah syafaatmu kepadaku di hari kiamat".

Allah ta'ala telah mengingatkan, 

أم اتخذوا من دون الله شفعاء قل أولو كانوا لا يملكون شيئا ولا يعقلون قل لله الشفاعة جميعا 

"Bahkan mereka mengambil pemberi syafaat selain Allah. Katakanlah, "Dan apakah (kamu mengambilnya juga) meskipun mereka tidak memiliki sesuatu pun dan tidak berakal? Katakanlah, hanya milik Allah syafaat itu semuanya." (Az-Zumar: 43-44)

Fikri Abul Hasan

Jumat, 12 Februari 2021

Hadits Qudsi & Perbedaannya dengan Al-Qur'an

Qudsi secara bahasa dinisbatkan kepada "quds" yang berarti suci yaitu menisbatkan pengagungan dan pemuliaan kepada dzat Allah yang Mahasuci.

Sedangkan menurut istilah hadits qudsi adalah apa yang disandarkan oleh Nabi ﷺ dari perkataan-perkataan beliau kepada Allah.

Contohnya diriwayatkan Imam Muslim dalam shohihnya dari Abu Dzar dari Nabi ﷺ bahwa Allah berfirman, "Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharomkan perbuatan zalim pada diriku dan Aku haromkan pula pada kalian, maka janganlah saling menzalimi di antara kalian."

Perbedaan Hadits Qudsi dengan Al-Qur'an

(1). Al-Qur'an lafal dan maknanya dari Allah, sedangkan hadits qudsi maknanya dari Allah dan lafalnya dari Nabi ﷺ.

(2). Membaca huruf Al-Qur'an tergolong ibadah dan mendapat pahala, sedangkan membaca hadits qudsi tidak demikian.

(3). Disyaratkan mutawatir dalam periwayatan Al-Qur'an, sedangkan hadits qudsi tidak disyaratkan.

Perbedaan Hadits Qudsi dengan Hadits Nabawi

Hadits Nabi ﷺ dinisbatkan kepada Rosulullah ﷺ sedangkan hadits qudsi dinisbatkan kepada Allah kemudian Rosulullah ﷺ yang meriwayatkannya dari Allah. Sebab itu diikat dengan sebutan qudsi. 

Hadits qudsi jumlahnya tidak banyak. Kitab yang paling masyhur mengumpulkan hadits qudsi adalah "Al-It-hafat As-Saniyyah bil Ahadits Al-Qudsiyyah" karya Al-Imam Abdurrouf Al-Munawi (1031 H) berjumlah 272 hadits. (Mabahits Fi 'Ulumil Hadits hal. 12)

Fikri Abul Hasan

Shohabat Paling Banyak Meriwayatkan Hadits

Di antara shohabat yang paling banyak meriwayatkan hadits Rosulillah ﷺ adalah Abu Huroiroh, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Aisyah Ummul Mukminin, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdillah, Abu Sa'id Al-Khudri. (Mabahits Fi 'Ulumil Hadits hal. 59)

Para ulama mencatat:

1. Abu Huroiroh meriwayatkan 5374 hadits.

2. Abdullah bin Umar meriwayatkan 2630 hadits.

3. Anas bin Malik meriwayatkan 2286 hadits.

4. Aisyah meriwayatkan 2210 hadits.

5. Abdullah bin Abbas meriwayatkan 1660 hadits.

6. Jabir bin Abdillah meriwayatkan 1540 hadits.

7. Abu Sa'id Al-Khudri meriwayatkan 1170 hadits.

Fikri Abul Hasan

Senin, 08 Februari 2021

"Ad-Dahru" Bukan Nama Allah

Dari Abu Huroiroh bahwa Rosulullah ﷺ bersabda:

قال الله تعالى يؤذيني ابن آدم يسب الدهر وأنا الدهر بيدي الأمر أقلب الليل والنهار

"Allah ta'ala berfirman, "Anak Adam menisbatkan sesuatu yang tidak pantas kepada-Ku; karena dia mencela Ad-Dahru (masa), padahal Akulah Ad-Dahru, seluruh urusan di Tangan-Ku, Akulah yang membolak-balikkan siang dan malam." (HR. Al-Bukhori 7491 dan Muslim 2246)

Hadits ini tidak menunjukkan Ad-Dahru nama Allah. Karena Allah yang menciptakan Ad-Dahru (masa) dan peristiwa yang berlangsung padanya sebagaimana yang disebutkan dalam kalimat setelahnya, "Seluruh urusan di Tangan-Ku, Akulah yang membolak-balikkan siang dan malam".

Tidak mungkin Dzat yang mengatur dalam perkataan, "Akulah Ad-Dahru", menjadi Dzat yang diatur pada perkataan setelahnya yaitu siang dan malam. Maka Ad-Dahru dalam hadits ini bukanlah Allah karena Allah yang mengatur masa. (Al-Qowa'idul Mutsla hal. 12)

Fikri Abul Hasan

Selesai Haid Tidak Bisa Mandi?

Assalaamu'alaykum wa rahmatullaahi wa barakaatuhu.. Ustadz, jika seseorang selesai dari haid, tidak sanggup mandi wajib karena sakit (demam & meriang), bolehkah berwudhu saja kemudian sholat?

Jawab: Wa'alaikumussalam warohmatullah wabarokatuh. Islam datang membawa syariat yang mudah, setiap kali ada kesulitan untuk menjalankan perintah maka di sana ada keringanan. Allah mengingatkan:

يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر 

"Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki bagimu kesukaran." (Al-Baqoroh: 185)

Seorang wanita apabila telah suci dari haid sedang tidak memungkinkan baginya mandi disebabkan adanya udzur seperti sakit atau tidak adanya air atau cuaca yang sangat dingin atau khawatir membahayakan, maka cukup baginya bertayammum sebagai pengganti mandi.

Tayammum yaitu bersuci dengan menepukkan kedua telapak tangan ke debu atau tanah dengan sekali tepukan lalu mengusapkannya ke wajah dan kedua punggung telapak tangan atau boleh juga sebaliknya. (Al-'Uddah 1/54)

Syariat telah menjadikan tayammum sebagai pengganti wudhu dan mandi bilamana tidak ada air atau ada udzur lain. Allah berfirman:

وإن كنتم مرضى أو على سفر أو جاء أحد منكم من الغائط أو لامستم النساء فلم تجدوا ماء فتيمموا صعيدا طيبا فامسحوا بوجوهكم وأيديكم منه 

“Dan apabila kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air atau "menyentuh" perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan tanah itu." (Al-Ma'idah: 6)

Dan apabila sudah memungkinkan baginya menggunakan air maka dia harus segera mandi sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama.

Fikri Abul Hasan

Lebih Baik Cabut Bulu Ketek

Al-A'masy (148 H) mendengar seseorang (tukang cerita) berkata dengan menyebutkan sanad:

عن الأعمش عن أبي إسحاق عن أبي وائل ,فتوسط الأعمش الحلقة وجعل ينتف شعر إبطه فقال له القاص :

“Dari Al-A’masy, dari Abu Is-haq, dari Abu Wa'il..." lalu Al-A’masy langsung beralih ke tengah halaqoh sembari mencabut bulu keteknya. Sontak si tukang cerita menegurnya:

يا شيخ ؟ ألا تستحي ؟ نحن في علم وأنت تفعل مثل هذا ؟! فقال الأعمش : الذي أنا فيه خير من الذي أنت فيه قال : كيف ذلك ؟ قال :لأني في سنة وأنت في كذب أنا الأعمش ! وما حدثتك مما تقول

“Wahai Syaikh? tidakkah engkau malu? Kita dalam pengajian engkau malah berbuat seperti itu?!” Maka Al-A’masy berkata, “Apa yang aku lakukan ini lebih baik ketimbang apa yang engkau perbuat.” Orang itu berkata, “Bagaimana bisa begitu?” Al-A’masy berkata, “Aku sedang mengamalkan sunnah, sedangkan engkau sedang berdusta! Aku adalah Al-A’masy! Aku tidak pernah menceritakan kepadamu seperti itu!

فلما سمع الناس ما ذكر الأعمش؛ انفضوا عن القاص واجتمعوا حوله وقالوا: حدثنا يا أبا محمد

Ketika para hadirin mendengar hal itu, maka mereka meninggalkan tukang cerita tersebut dan berkumpul di sekitar Al-A’masy, mereka berkata, “Ceritakanlah kepada kami wahai Abu Muhammad (Al-A'masy).” (Al-Hawadits wal Bida’ hal. 111-112)

Fikri Abul Hasan

Nama-Nama Allah Jumlahnya Tidak Terbatas

Kaidah "asma'ullah ghoiru mahshuroh" (nama-nama Allah tidak terbatas) berdasarkan sabda Nabi ﷺ dalam hadits yang masyhur:

أسألك بكل اسم هو لك سميت به نفسك أو علمته أحدا من خلقك أو أنزلته في كتابك أو استأثرت به في علم الغيب عندك  

"Aku memohon kepada Engkau dengan seluruh nama yang menjadi nama-Mu yang Engkau namai diri-Mu dengannya, atau yang Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau turunkan di dalam kitab-Mu, atau yang Engkau rahasiakan dalam ilmu ghoib di sisi-Mu." (HR. Ahmad 3712 dishohihkan Al-'Allamah Ahmad Syakir dan Syaikh Nashir)

Tidak ada seorang pun yang mengetahui apa yang menjadi rahasia Allah dalam ilmu ghoib di sisi-Nya. Ini menunjukkan nama-nama Allah tidak terbatas.

Sedangkan sabda Nabi ﷺ dari Abu Huroiroh:

إن لله تسعة وتسعين اسما مائة إلا واحد من أحصاها دخل الجنة

"Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama seratus kurang satu. Barangsiapa yang menghafalnya dan memahami maknanya, niscaya dia masuk surga." (HR. Al-Bukhori 6410 dan Muslim 2677)

Hadits ini sama sekali tidak menunjukkan pembatasan nama-nama Allah berjumlah 99. Andaikata yang dimaksudkan itu pembatasan, tentu redaksi haditsnya berbunyi seperti ini:

إن أسماء الله تسعة وتسعون اسما

"Sesungguhnya nama-nama Allah itu hanya ada 99.."

Sebagaimana seseorang mengatakan, "Saya punya seratus dirham yang saya siapkan untuk bersedekah". Kalimat ini tidak menutup kemungkinan dia masih memiliki dirham-dirham yang lain.

Adapun hadits-hadits yang menyatakan pembatasan nama-nama Allah seluruhnya dho'if. Tidak ada hadits shohih yang membatasi berapa jumlah nama-nama Allah.  (Al-Qowa'idul Mutsla hal. 17)

Fikri Abul Hasan