Sabtu, 06 Agustus 2016

Tanya Jawab Seputar Ziarah Kubur Ulama & Orang-Orang Shalih

Soal: Bagaimana hukumnya menziarahi kuburan ulama, kyai atau orang shalih dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memohon berkah kepada-Nya?

Jawab: Ziarah kubur adalah amalan yang disyariatkan setelah sebelumnya dilarang. Nabi shollallahu 'alaihi wasallam bersabda:

كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروها

“Dahulu aku pernah melarang kalian berziarah kubur, maka sekarang berziarahlah kalian.” (HR. Muslim 977)

Beliau juga bersabda:

زوروا القبور فإنها تذكركم الآخرة

"Berziarahlah kalian ke kuburan karena hal itu akan mengingatkan kalian akan akhirat.” (HR. Ibnu Majah 1569)

Tujuan berziarah adalah untuk mengingat mati, mengingat akhirat, zuhud terhadap dunia serta mendoakan kaum Muslimin. ("Subulussalam" Ash-Shon'ani 2/162 & "Ahkamul Jana’iz" Al-Albani hal. 239)

Akan tetapi bila tujuan mendatangi kuburan para Nabi maupun orang sholih itu untuk bertaqorrub (mendekatkan diri kepada Allah), maka ini termasuk cara ibadah yang tidak pernah diajarkan oleh Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam dan para Shohabat beliau. Sedang hukum asal ibadah itu sendiri adalah harom, tidak boleh dikerjakan sampai ada dalil yang mensyariatkan. Hal ini didasarkan sabda Nabi sholallahu 'alaihi wasallam:

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد

"Barangsiapa yang beramal (dalam urusan agama ini) dengan suatu amalan yang tidak bersumber dari ajaran kami maka tertolak." (HR. Muslim)

Bahkan perbuatan semacam itu termasuk syirik asghor lantaran menjadikan kuburan sebagai sebab yang tidak Allah syariatkan. Seseorang yang bertawassul (menjadikan perantara) dengan kuburan beranggapan akan lebih cepat dikabulkan permohonannya oleh Allah. Tak jauh berbeda kondisinya dengan orang yang menganggap keris, batu, jimat bisa mendatangkan manfaat meski dirinya tetap meyakini semuanya berasal dari kekuasaan Allah.

Namun hal itu bisa beralih menjadi syirik besar yang dapat menggugurkan keislaman seseorang manakala pihak yang dimintai langsung adalah si penghuni kubur. Inilah bentuk tawassul yang dilarang, dan tawassul semacam ini yang menjadi tradisi di kalangan orang-orang Syiah dan tarekat Shufiyyah.

Soal: Lalu bagaimana Ustadz dengan riwayat "keberkahan itu bersama orang-orang besar kalian (para Ulama)", apakah riwayat ini bisa menjadi landasan untuk ngalap berkah melalui kuburan para Ulama?

Jawab: Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda:

البركة مع أكابركم

"Keberkahan dari Allah itu bersama para pembesar kalian." (Silsilah Ash-Shohihah no. 1778) 

Hadits ini tidaklah memberi pengertian bolehnya ngalap berkah dengan cara mengusap-usap kuburan para Nabi dan para Ulama, karena tidak ada dalil yang menunjukkan hal itu. Hanyalah yang dimaksud keberkahan di sini adalah keberkahan ilmu yang mereka ajarkan sewaktu  mereka hidup.

Al-Imam Ibnul Qoyyim menjelaskan, “Andaikata berdoa di sisi kuburan, sholat di sisinya, mencari berkah dengannya merupakan suatu keutamaan, atau disunnahkan, atau diperbolehkan, tentu para Shohabat Nabi dari kalangan Muhajirin dan Anshor telah mendahului kita dalam mengamalkannya, serta mencontohkannya kepada generasi setelah mereka." (Ighotsatul Lahfan 1/204)

Soal: Bukankah Nabi Musa pernah meminta agar kematiannya didekatkan dengan tanah suci sejauh lemparan kerikil?

Jawab: Betul, Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam menceritakan permohonan Nabi Musa ‘alaihissalam ketika didatangi malaikat maut agar kematiannya didekatkan dengan tanah suci (Baitul Maqdis) sejauh lemparan kerikil. (HR. Al-Bukhori & Muslim)

Maknanya sebagaimana yang dijelaskan Al-Imam Ibnu Batthol:

معنى سؤال موسى أن يدنيه من الأرض المقدسة – والله أعلم – لفضل من دفن في الأرض المقدسة من الأنبياء والصالحين فاستحب مجاورتهم في الممات كما يستحب جيرتهم في المحيا

"Bahwa maksud permohonan Musa agar kematiannya didekatkan dengan tanah suci -wallahu a'lam- karena adanya keutamaan dimakamkan di tanah suci seperti para Nabi dan orang-orang sholih. Sehingga dianjurkan untuk mati di dekat mereka sebagaimana dianjurkan dekat dengan mereka sewaktu hidupnya." (Syarh Shohih Al-Bukhori 3/325)

Jadi yang dianjurkan adalah dikebumikan di tanah suci atau didekat dengan orang sholih, bukan diperbolehkannya orang hidup mengalap berkah dari kuburan orang sholih. Sebab itu Al-Imam Al-Bukhori mencantumkan riwayat ini dalam shohihnya dengan judul "Bab Orang yang Senang Dikebumikan di Tanah Suci". 

Soal: Bagaimana dengan keabsahan riwayat berikut, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Hidupku lebih baik bagi kalian. Ketika kalian berbuat sesuatu, aku dapat menjelaskan hukumnya. Wafatku juga lebih baik bagi kalian, bila aku wafat, maka amal perbuatan kalian dinampakkan kepadaku. Apabila aku melihat baiknya amal kalian maka aku memuji Allah dan apabila aku melihat sebaliknya, maka aku memintakan ampun kalian kepada Allah.” (HR. Al-Bazzar)

Jawab: Riwayat ini dengan keseluruhan jalannya dinilai lemah oleh para Ulama. Di antara Ulama yang melemahkannya adalah Syaikh Al-'Allamah Al-Albani dalam "Silsilah Adh-Dho'ifah" 2/404. Andai kata shohih maka sama sekali tidaklah menunjukkan bolehnya ngalap berkah dari kubur Nabi shollallahu 'alaihi wasallam dan kuburan para Ulama.

Riwayat tersebut juga bertentangan dengan riwayat shohih yang menegaskan bahwa Nabi shollallahu 'alaihi wasallam tidak mengetahui amalan yang dilakukan oleh umatnya sepeninggal beliau. "Kelak aku akan mendahului kalian hingga dinampakkan kepadaku beberapa orang di antara kalian. Ketika aku akan mengambilkan air untuk mereka dari telaga Al-Haudh lantas mereka dijauhkan dariku. Aku berkata, "Wahai Robbku mereka adalah Shohabatku." Allah berkata, "Sesungguhnya engkau tidak tahu amalan apa yang mereka ada-adakan sepeninggalmu!“ (HR. Al-Bukhori)

Begitupula dengan kisah Bilal bin Al-Harits yang mendatangi kuburan Nabi shollallahu 'alaihi wasallam saat musim paceklik di masa Umar maka ini juga riwayat yang lemah menurut pendapat yang rojih. Karena dalam sanadnya ada rowi bernama Abu Sholih yang tidak diketahui mendengar riwayat Malik Ad-Dar sebagaimana yang ditegaskan oleh Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-'Asqolani dalam "Al-Ishobah". Dan Malik Ad-Dar sendiri tidak diketahui sejauh mana kredibilitasnya.

Riwayat tersebut juga tidak sejalan dengan perbuatan para Shohabat di masa Umar bin Al-Khotthob, dimana beliau mendatangi Al-'Abbas bin Abdil Muttholib (paman Nabi yang masih hidup) guna menegakkan sholat istisqo' dan berdoa kepada Allah supaya hujan turun di Madinah. Faktanya tidak ada di antara mereka mendatangi kuburan Nabi shollallahu 'alaihi wasallam dan minta dipenuhi hajatnya oleh beliau.

Adapun riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi shollallahu 'alaihi wasallam akan menjawab orang yang menyampaikan salam kepada beliau, maka ini riwayat yang tidak diragukan lagi keabsahannya. Akan tetapi itu hanya sebatas menjawab salam, tidak untuk diyakini mampu mengabulkan permohonan.

Soal: Bolehkah mengkhususkan hari untuk berziarah kubur seperti hari Jum'at?

Jawab: Mengkhususkan hari-hari tertentu saat berziarah, seperti menjelang Romadhon, saat ‘ied, hari Jumat maupun hari-hari lain telah datang larangannya dari Nabi shollallahu 'alaihi wasallam:

ولا تجعلوا قبري عيدا

"Janganlah kalian jadikan kuburanku sebagai ‘ied." (HR. Abu Dawud 2042, Ibnu Taimiyyah dalam "Iqtidho' Ash-Shirothil Mustaqim" 2/169 berkata, "Sanadnya hasan memiliki syawahid", Ibnu Hajar Al-'Asqolani dalam "Al-Futuhat Ar-Robbaniyyah" berkata, "Hasan", Syaikh Al-Albani menshohihkannya dalam "Shohihul Jami'" 7226)

Ibnul Qoyyim menjelaskan:

العيد ما يعتاد مجيئه وقصده من زمان ومكان ، مأخوذ من المعاودة والاعتياد ، فإذا كان اسماً للمكان فهو المكان الذي يقصد فيه الاجتماع وانتيابه للعبادة وغيرها كما أن المسجد الحرام ومنى ومزدلفة وعرفة والمشاعر جعلها الله عيداً للحنفاء ومثابة للناس

"'Ied adalah sesuatu yang kehadirannya dan maksudnya berulang-ulang baik waktu maupun tempat. Kata 'ied diambil dari kata "al-mu'awadah" (kembali) dan "al-i'tiyad" (biasa). Kata 'ied bila dipakai untuk nama tempat maka maknanya adalah tempat yang dituju untuk berkumpul dan menunaikan ibadah atau selain itu. Seperti Masjidil Harom, Mina, Muzdalifah, 'Arofah, dan tempat-tempat lainnya yang dijadikan Allah sebagai ‘ied bagi orang-orang yang beriman serta tempat pertemuan bagi manusia." (Ighotsatul Lahfan 1/190)

Syaikh Al-'Allamah Sholih Al-Fawzan berkata, "Kata 'ied bermakna sesuatu yang selalu terjadi secara berulang-ulang. 'Ied ada dua macam yaitu "'ied zamani" (terkait waktu) seperti 'ied Romadhon dan 'iedul adh-ha, dan "'ied makani" (terkait tempat) yaitu tempat yang dipakai untuk berkumpul dalam hitungan tahun, pekan atau bulan dengan tujuan yang bernilai ibadah." (Syarh Masa'il Jahiliyyah hal. 233)

Dengan demikian makna menjadikan kuburan sebagai 'ied adalah menjadikannya sebagai tempat yang dikhususkan untuk beribadah atau mendekatkan diri kepada Allah. Juga bermakna mengkhususkan waktu untuk menziarahinya. Semua itu termasuk amalan yang dilarang oleh Nabi shollallahu 'alaihi wasallam.

Adapun hikmah larangan pengkhususan ini agar manusia tidak berlebih-lebihan terhadap kuburan, khususnya kuburan para Nabi dan orang-orang sholih, karena perbuatan seperti itu akan menjerumuskan pelakunya ke dalam kesyirikan.
___________

Fikri Abul Hasan

0 comments:

Posting Komentar