Minggu, 03 Juli 2016

Hakikat Riba, Keharomannya & Contoh-Contohnya

Kata riba dalam bahasa Arab berarti "az-ziyadah" (tambahan), seperti dikatakan, "Roba al-maalu" yakni harta itu telah bertambah. Allah berfirman:

وما آتيتم من ربا ليربو في أموال الناس فلا يربو عند الله

“Dan apa saja yang kamu berikan dari riba agar dia menambah pada harta-harta manusia, maka riba itu tidak akan bertambah di sisi Allah.” (Ar-Rum: 39)

Sedangkan dalam istilah syari'at kata riba bermakna tambahan pada sesuatu yang khusus. Ini berarti tidak setiap tambahan dalam transaksi tergolong riba. Akan tetapi para Ulama telah sepakat bahwa, "Setiap pinjam-meminjam yang dipersyaratkan keuntungan padanya adalah riba."

Haromnya transaksi riba ini ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya:

وأحل الله البيع وحرم الربا

"Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharomkan riba.” (Al-Baqoroh: 275)

ياأيها الذين آمنوا اتقوا الله وذروا ما بقي من الربا إن كنتم مؤمنين

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba jika kalian benar-benar beriman." (Al-Baqoroh: 278)

Dari Jabir rodhiyallahu 'anhu:

لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه وقال هم سواء

"Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam telah melaknat pemakan riba, yang memberi makan riba, penulisnya dan dua saksinya, dan beliau berkata, “Mereka semua sama.” (HR. Muslim)

Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Riba memiliki 73 pintu, yang paling ringan dosanya seperti seorang menzinai ibu kandungnya sendiri.” (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi dalam "Syu’abul Iman" - Syaikh Al-Albani berkata hadits ini shohih)

Praktek riba di zaman jahiliyyah dulu digambarkan oleh para Ulama yaitu dengan menetapkan tambahan bila pembayaran hutang tertunda. Misalnya si A pinjam uang Rp. 1.000.000,- kepada si B dalam tempo sebulan, maka bila lewat dari sebulan maka A diharuskan membayarnya dengan nominal yang lebih sebanyak Rp. 1.100.000,- namun jika tidak, maka A membayarnya sesuai dengan pinjaman. Sedangkan praktek riba di zaman sekarang sangat banyak bentuknya meski dibungkus dengan berbagai istilah demi mengaburkan perkara yang harom.

Kendati demikian, tidaklah setiap objek transaksi terkena hukum riba. Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam telah menyebutkan jenis-jenis barang ribawi dalam sabdanya:

"Menukar emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir (jenis gandum) dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, nilainya harus semisal, sama dan tangan dengan tangan. Namun bila jenis barangnya berbeda maka silakan jual sekehendak kalian selama kontan tangan dengan tangan.” (HR. Muslim)

Dalam hadits ini Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam menyebutkan enam jenis barang ribawi yaitu emas, perak, gandum, sya'ir, kurma, garam. Akan tetapi barang-barang yang berlaku hukum riba tidaklah terbatas pada enam jenis tersebut; sebab dalam kaidah fiqh disebutkan:

"Hukum itu berputar bersama 'illatnya (sebabnya), ada dan tidaknya hukum bergantung pada ada dan tidaknya 'illat."

Artinya barang-barang yang memiliki 'illat serupa dengan keenam jenis barang ribawi tersebut maka termasuk barang yang terkena hukum riba.

Misalnya seperti 'illat emas dan perak adalah sebagai alat bayar atau alat tukar. Maka uang termasuk barang ribawi karena adanya kesamaan 'illat dengan emas dan perak. Sedangkan 'illat gandum, sya'ir, kurma, garam adalah ditakar dan ditimbang. Maka setiap makanan yang dapat ditakar dan ditimbang termasuk barang riba seperti beras. Pendapat inilah yang diakui oleh mayoritas Ulama. Maka para Ulama mengklasifikasi barang ribawi menjadi dua kelompok:

Pertama: Emas, perak dan yang memiliki 'illat yang sama.
Kedua: Gandum, sya'ir, kurma, garam dan yang memiliki 'illat yang sama.

Bila terjadi pertukaran dalam satu kelompok yang sama dengan jenis yang sama maka harus memenuhi dua syarat, yaitu "tamatsul" (sama nilainya atau takarannya) dan "taqobudh" (kontan tangan dengan tangan).

Contoh, jika emas koin 10 gram ditukar dengan emas perhiasan 15 gram maka tergolong riba fadhl (yaitu tambahan dalam pertukaran yang nilainya harus sama). Tetapi jika nilainya sama namun tidak tunai diserahkan langsung maka tergolong riba nasi'ah (karena adanya penundaan).

Sedangkan jika berbeda jenis namun masih dalam satu kelompok yang sama maka yang berlaku hanya satu syarat yaitu "taqobudh". Contohnya seperti emas ditukar dengan perak, maka jumlah perak boleh lebih banyak dari emas akan tetapi harus secara tunai diserahterimakan di tempat agar selamat dari riba nasi'ah.

Adapun jika pertukaran terjadi antara kelompok yang berbeda seperti emas dengan kurma, maka tidak lagi berlaku lagi syarat "tamatsul" dan "taqobudh". Begitu seterusnya seperti pertukaran barang ribawi (seperti uang) dengan non ribawi (kendaraan) maka pertukaran sesuai kesepakatan atau keridhoan keduabelah pihak selama tidak melanggar batasan syari'at.

Praktek Riba di Zaman Sekarang

1. Meminjam Uang dengan Rentenir

Contohnya A meminjam uang kepada rentenir sebanyak Rp. 10.000.000,- dan disyaratkan mengembalikannya dalam tempo sebulan sebanyak Rp. 12.000.000,- 

Transaksi semacam ini tergolong riba karena menetapkan tambahan dalam pinjaman. Sekalipun tambahan 2.000.000 tersebut dikaburkan dengan istilah "balas jasa". Dan praktek riba semacam ini lebih kejam  jika dibandingkan dengan praktek riba di masa jahiliyyah dulu yang hanya mensyaratkan tambahan setelah melampaui batas waktunya.

2. Kartu Kredit

Kartu kredit diterbitkan oleh perusahaan yang memberi pinjaman dengan batas nominal tertentu. Melalui kartu ini seseorang dapat menarik sejumlah uang sebagai pinjaman. Sedangkan yang membayar tagihannya ke perusahaan adalah pihak bank. Adapun pemilik kartu membayar pinjamannya kepada bank. Jika pemilik kartu membayar sebelum jatuh tempo maka ia tidak terkena denda, namun bila telat maka dikenakan denda 1 atau 2 %. Akad semacam ini tergolong riba sekalipun pemilik kartu mensiasatinya dengan membayarnya tepat waktu.

3. Menukar Uang Sejenis dengan Jumlah yang Berbeda

Praktek riba semacam ini seringnya dilakukan saat-saat menjelang lebaran. Seperti menukar Rp. 100.000 dengan pecahan Rp. 2.000 sebanyak 45 lembar yang jumlahnya bila ditotal berkurang menjadi Rp. 90.000,-.

4. Asuransi

Transaksi asuransi dengan segala jenisnya seperti asuransi jiwa, niaga, pendidikan dan yang lainnya sarat dengan praktek riba. Karena yang terjadi sebetulnya akad tukar-menukar uang dengan uang. Dimana pihak tertanggung (nasabah) menerima uang sebagai ganti rugi dari biaya premi yang sekian lama telah dia setorkan. Sedangkan menukar uang sejenis haruslah terpenuhi dua syarat yaitu taqobudh dan tamatsul. Kedua syarat inilah yang dilanggar dalam akad asuransi sehingga terjatuh dalam praktek riba.

5. Transaksi Spot

Yaitu pembelian dan penjualan valas yang dalam ketentuannya bisa diselesaikan paling lambat dalam tempo dua hari. Pihak yang membolehkan transaksi valas ini menganggap waktu dua hari sebagai proses penyelesaian yang tidak mungkin dihindari. Ini pendapat yang tidak dapat dibenarkan kaena dalil-dalil menegaskan bahwa jual beli emas dan perak atau jual beli mata uang yang jenisnya berbeda (rupiah dengan dollar) haruslah terpenuhi satu syarat yaitu taqobudh (kontan langsung diserahterimakan tanpa penundaan). Sedangkan dalam transaksi spot penundaannya sampai dua hari. Model transaksi seperti inilah yang mempengaruhi kurs mata uang dan mengakibatkan krisis global.

Demikian beberapa contoh praktek riba yang umumnya berlaku di tengah masyarakat. Sekalipun dalam transaksi riba itu nampaknya menguntungkan, namun kerugian yang ditanggung sebetulnya berkali-kali lipat.

Sebagai seorang Mukmin tentu kita harus bergantung hanya kepada Allah, tidak bergantung kepada hukum pasar yang mengabaikan prinsip halal harom. Allah yang menciptakan kita tentu Dia yang lebih mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya.

Fikri Abul Hasan

0 comments:

Posting Komentar