Rabu, 03 Februari 2021

Kehujjahan Hadits Ahad

Secara bahasa ahad berarti satu. Sedangkan menurut istilah hadits ahad adalah hadits yang belum memenuhi syarat-syarat mutawatir yaitu diriwayatkan oleh banyak perowi pada semua thobaqoh (tingkatan) sanadnya.

Hadits ahad terbagi menjadi tiga macam yaitu hadits masyhur, aziz, ghorib.

Masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh tiga perowi pada setiap thobaqoh dan belum mencapai batas mutawatir. Hadits masyhur juga dikenal dengan istilah mustafidh.

Aziz adalah hadits yang diriwayatkan dengan minimal dua sanad yang perowinya berlainan. Contohnya hadits yang redaksinya serupa dikeluarkan Al-Bukhori dari jalan Anas dan juga dikeluarkan Al-Bukhori dari jalan Abu Huroiroh.

Ghorib adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perowi. Meski tidak dipersyaratkan periwayatan seorang perowi itu berlaku pada setiap thobaqoh, cukup pada satu thobaqoh atau lebih. Hadits ghorib ini juga dikenal dengan istilah fard.

Contoh hadits ghorib seperti hadits, "Innamal a'maalu binniyyaat.." hadits ini hanya diriwayatkan oleh Umar bin Al-Khotthob rodhiyallahu 'anhu. 

Ditinjau dari aspek keakuratannya, hadits ahad ada yang berderajat shohih, hasan, dho'if. Hadits ahad yang berstatus shohih atau hasan wajib diterima dan menjadi hujjah baik dalam hal aqidah maupun hukum.

Al-Imam Asy Syafii berkata:

ولو جاز لأحد من الناس أن يقول في علم الخاصة أجمع المسلمون قديما وحديثا على تثبيت خبر الواحد 

"Jika satu orang saja diperbolehkan berbicara dalam suatu cabang ilmu tertentu, maka kaum muslimin baik dulu maupun belakangan telah berijma' (sepakat) atas keabsahan berhujjah dengan hadits ahad." (Ar-Risalah hal. 457 tahqiq Al-'Allamah Ahmad Syakir)

Hanya ahli bid'ah dari kalangan qodariyyah, mu'tazilah dan yang mengikuti jalan mereka menolak hadits ahad sebagai hujjah dalam perkara aqidah dan memang hadits-hadits tersebut bertolak belakang dengan bid'ah-bid'ah mereka.

Sebagian ulama seperti Al-Imam An-Nawawi memang berpendapat hadits ahad tidak menunjukkan makna "qoth'i" (pasti) tetapi "dzhonni" (dugaan). Namun banyak orang yang salah paham. Karena pembagian qoth'i dan dzhonni sebetulnya untuk membedakan karakteristiknya; bukan yang qoth'i diterima sedangkan yang dzhonni harus ditolak.

Meski dikatakan hadits ahad itu berkarakter "dzhonni" maka wajib diterima dan menjadi hujjah selagi statusnya shohih. Sebab itu, Al-Imam An-Nawawi sendiri banyak berhujjah dengan hadits ahad yang shohih dalam perkara aqidah.

Dan termasuk hal yang ma'lum minaddin biddhoruroh, syariat mewajibkan mengamalkan perkara yang bersifat "dzhonni" terhadap kebenaran. Seperti penetapan hukum berdasarkan kesaksian dua orang, begitupula kesaksian seorang saksi yang disertai sumpah dari penuduh.

Fikri Abul Hasan

0 comments:

Posting Komentar