Senin, 30 Oktober 2017

Wajib Mengikuti Manhaj Salaf

Para Shohabat Nabi, para Tabi’in dan Tabi’it tabi’in adalah pendahulu kaum Muslimin yang telah Allah puji kesholihannya secara ilmiyyah dan amaliyyah. Hal ini merupakan sebesar-besar keutamaan dari Allah berkat ilmu yang mereka warisi dan kesungguhan mereka dalam mendampingi ilmunya dengan pengamalan yang benar. 

Kenyataan tersebut menjadi alasan yang kuat mengapa kaum Muslimin diperintah mengikuti jejak para pendahulunya yang sholih dan dilarang menyelisihinya. Al-Imam Malik bin Anas Al-Ashbahi berkata: 

لا يصلح آخر هذه الأمة إلا بما صلح به أولها

“Tidak akan menjadi baik nasib akhir umat ini, melainkan dengan apa yang telah memperbaiki generasi awalnya.” (Tanqihut Tahqiq 2/423 - Al-Hafidzh Ibnu Abdil Hadi) 

Apa yang memperbaiki generasi pertama umat ini? Jawabannya adalah Al-Qur’an was Sunnah dengan pemahaman yang benar sebagaimana yang diajarkan oleh Salafussholih.

Kewajiban Mengikuti Manhaj Salaf dalam Beragama

Manhaj secara bahasa maknanya sistem pemahaman atau cara beragama. Sedangkan Salaf adalah ringkasan dari kata Salafussholih. Jadi Manhaj Salaf itu pengertiannya pemahaman atau cara beragama yang diajarkan oleh para pendahulu yang sholih dari kalangan Shohabat Nabi, Tabi’in dan Tabi’it tabi’in. Allah berfirman: 

وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَي

“Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku.” (Luqman: 15)

Al-Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah menjelaskan, "Semua Shohabat Nabi adalah orang-orang yang kembali kepada Allah, maka wajib mengikuti jalan mereka, perkataan mereka, serta aqidah mereka. Dan aqidah mereka adalah yang paling penting untuk diikuti dari jalan mereka.” (I’lamul Muwaqqi’in 2/393)

Maka kita diperintah oleh Allah untuk mengikuti jalannya para Shohabat Nabi dalam beragama. Allah juga telah memperingatkan kita dari  bahayanya menyelisihi jalannya para Shohabat dan mengancamnya dengan neraka. Allah berfirman: 

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Dan barangsiapa yang menentang Rosul (Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti selain jalannya orang-orang Mukmin (para Shohabat Nabi). Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahannam, dan itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa: 115)

Allah juga telah memberitakan bahwa keridhoan-Nya bersama orang-orang yang mengikuti jalannya para Shohabat dan menjanjikan pahala yang besar. Allah berfirman: 

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Dan para pendahulu yang pertama kali (masuk Islam) dari kalangan Muhajirin (para Shohabat yang hijrah ke Madinah) dan Anshor (para Shohabat yang menjadi penduduk asli kota Madinah) dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka dalam beriman dan beramal dengan sebaik-baiknya. Allah telah ridho kepada mereka dan merekapun juga telah ridho kepada Allah. Dan Allah telah menjanjikan bagi mereka itu taman-taman surga yang mengalir di bawah taman-taman itu sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya, yang demikian itu adalah kemenangan yang besar." (At-Taubah: 100)

Allah telah mengancam orang-orang yang menyelisihi jalan para Shohabat Nabi dengan ancaman neraka, sebagaimana Allah menjanjikan surga dan keridhoan-Nya bagi orang-orang yang menempuh jalannya para Shohabat. (Kun Salafiyyan ‘alal Jaddah hal. 46)

Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam juga telah memerintahkan umatnya untuk mengikuti jejak beliau dan para Khulafa’ur Rosyidin manakala melihat percekcokan pemahaman yang terjadi sepeninggal beliau shollallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda:

“Barangsiapa yang masih hidup sepeninggal aku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian (ketika melihat perselisihan itu) berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafa’ur Rosyidin Al-Mahdiyyin sepeninggalku, gigitlah ia (sunnah-sunnah itu) dengan gigi-gigi gerahammu, dan hati-hatilah kalian dari perkara yang baru dalam agama, karena setiap perkara yang baru dalam agama (bid’ah) itu sesat.” (HR. Abu Dawud 4607, At-Tirmidzi 2676 dan beliau berkata “Hadits Hasan Shohih”, Syaikh Al-Albani menshohihkannya dalam "Shohihul Jami’" 2546)

Gigitlah sunnah-sunnah itu yakni sebagai ungkapan berpegang kuat dengan sunnah Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam dan sunnah para Khulafa’ur Rosyidin. Selama sunnah para Khulafa’ tersebut mencocoki sunnah Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, maka wajib berpegang teguh dengannya. Karena hal itu adalah jaminan keselamatan dari fitnah perselisihan yang terjadi sepeninggal Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam. 

Lebih tegas lagi Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam menyatakan tentang keadaan umatnya dalam sabda beliau: 

وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي  النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي

“Sesungguhnya bani Isroil telah terpecah menjadi tujuhpuluh dua aliran agama dan umatku akan terpecah menjadi tujuhpuluh tiga golongan. Semuanya di neraka kecuali satu golongan aliran pemahaman saja yang selamat dari neraka.” Para Shohabat bertanya kepada Nabi, “Siapakah golongan yang  selamat itu wahai Rosulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu golongan yang berjalan pada apa yang aku dan para Shohabatku jalani.” (HR. At-Tirmidzi 2565)

Maka fitnah perpecahan dan percekcokan pemahaman yang menimpa kaum Muslimin hanya dapat diselesaikan dengan menempuh cara beragamanya Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam dan para Shohabat beliau rodhiyallahu ‘anhum. Dan orang-orang yang beragama dengan cara seperti ini yang dikatakan sebagai "Al-Firqotun Najiyah" (golongan yang selamat).

Al-Imam Al-Auza’i menasehatkan: 

عَلَيْكَ بِاْلأَثَرِ وَإِنْ رَفَضَكَ النَّاسُ وَإِيَّاكَ وَآَرَاءَ الرِّجَالَ وَإِنْ زَخْرَفُوْهُ بِالْقَوْلِ فَإِنَّ اْلأَمْرَ يَنْجَلِيْ وَأَنْتَ فِيْهِ عَلَى طَرِيْقٍ مُسْتَقِيْمٍ

“Wajib atas engkau untuk berpegang dengan atsar sekalipun orang-orang menolakmu. Hati-hatilah engkau dari logika dalam beragama meskipun mereka menghiasinya dengan berbagai omongan. Karena perkara agama ini telah sangat jelas dengan atsar dan engkau bila beragama atas dasar atsar itu, maka engkau akan berjalan di atas shirathal mustaqim (yakni jalan yang lurus).” (Al-Adabus Syar’iyyah 2/70)

Kendati demikian, tidaklah berarti kita mengultuskan para Shohabat sebab mereka bukanlah pribadi yang ma’shum (terjaga dari kesalahan). Akan tetapi, para Shohabat adalah orang-orang yang adil dan terpercaya, dan telah mendapat rekomendasi kesholihan ilmu maupun amal. Bahkan kesepakatan mereka dijamin oleh Nabi shollallahu 'alaihi wasallam sebagai kesepakatan yang mutlak kebenarannya.

Fikri Abul Hasan

Urgensi Sanad & Kedudukannya

'Abdan berkata, aku mendengar Abdullah bin Al-Mubarok berkata:

الإسناد عندي من الدين ولو لا الإسناد لقال من شاء ما شاء

“Sanad itu bagiku bagian dari agama, jika tidak ada sanad, niscaya orang akan berkata semaunya." (Shohih Muslim) 

Sanad adalah silsilah atau urutan para perowi hadits. Berikut kami bawakan contoh sanad dari kitab "Al-Jami'ul Musnad Ash-Shohih Al-Mukhtashor Min Umuri Rosulillah Shollallahu 'Alaihi Wasallam Wa Sunanihi Wa Ayyamih" atau yang dikenal dengan "Shohih Al-Bukhori":

حدثنا يعقوب حدثنا إبراهيم بن سعد عن أبيه عن القاسم بن محمد عن عائشة رضي الله عنها قالت قال رسول الله صلى الله عليه وسلم

"Telah menceritakan kepada kami Ya’qub, telah menceritakan kepada kami Ibrohim bin Sa’d, dari bapaknya, dari Al-Qosim bin Muhammad, dari ‘Aisyah rodhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

من أحدث في أمرنا هذا ما ليس فيه فهو رد

"Barangsiapa yang mengada-adakan perkara baru dalam ajaran kami ini yang bukan darinya maka tertolak.”

Periwayatan Al-Bukhori dari jalan Ya'qub sampai kepada Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam  ini yang disebut sanad. Kedudukan sanad ini sangat penting dalam ilmu hadits. Bilamana sanad diabaikan, maka orang akan seenaknya mencatut nama Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam. Melalui ilmu sanad ini juga seseorang akan mampu memilah antara hadits shohih (akurat), dho'if (lemah) dan mawdhu’ (palsu).

Kendati demikian, ada sebagian kalangan yang memahami  pengertian sanad secara sempit, yaitu silsilah nasab (keturunan) semata yang sampai kepada Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam tanpa menghiraukan  sejauh mana keabsahan riwayatnya. Jelas ini seruan fanatik buta ala tarekat Shufiyyah dengan stempel "sanad". Bahkan mereka berani mengklaim hanya pihaknya saja yang bersambung sanadnya sampai kepada Nabi, tentu ucapan seperti ini tidak dapat diterima.

Maka sesungguhnya yang menjadi patokan dalam beragama ini adalah sanad keilmuan. Sedangkan sanad keilmuan yang paling teruji nilai akurasinya adalah sanad keilmuan yang bersumber dari para Ulama Salaf Ahlussunnah Wal Jamaah. Mereka adalah "Al-Firqotun Najiyah Al-Manshuroh". Ilmu dan pengamalan mereka mencocoki ilmu dan pengamalan Nabi dan para Shohabatnya. 

Muhammad bin Sirin berkata:

لم يكونوا يسألون عن الإسناد فلما وقعت الفتنة قالوا سموا لنا رجالكم فينظر إلى أهل السنة فيؤخذ حديثهم وينظر إلى أهل البدع فلا يؤخذ حديثهم

“Dahulu para Ulama tidak pernah bertanya tentang sanad, akan tetapi setelah terjadi fitnah (kedustaan dan pemalsuan sejarah, -pent) mereka seleksi, "Sebutkanlah pada kami rijal (para perowi) kalian, apabila dari kalangan Ahlussunnah maka diterima haditsnya, namun jika dari kalangan ahlul bid’ah maka tidak diterima." (Shohih Muslim)

Al-Imam Malik bin Anas berkata, “Tidak boleh seseorang mengambil ilmu dari empat model manusia:

1. Ilmu tidak diambil dari orang-orang bodoh.
2. Tidak diambil dari pengekor hawa nafsu yang menyeru manusia kepada hawa nafsunya.
3. Tidak pula dari seorang pendusta yang biasa berdusta dalam pembicaraan-pembicaraan manusia meskipun tidak tertuduh berdusta dalam meriwayatkan hadits.
4. Tidak pula dari seorang Syaikh yang memiliki keutamaan, kesholihan serta ahli ibadah tetapi dia tidak paham apa yang diucapkannya.” (An-Nubadz fi Adab Tholabil ‘Ilmi hal. 22-23)

Yakni belajar ilmu agama ini tidak boleh dari orang yang jahil, ahlul bid’ah, pendusta atau ahli ibadah namun tidak faqih (cakap pemahamannya). Karena para Ulama telah berijma' bahwa, "Imu ini adalah agama maka perhatikanlah dari siapa engkau mengambil agamamu." Sedangkan menerima kebenaran bisa dari siapa saja selama dapat dipastikan secara ilmiyyah kebenarannya.

Fikri Abul Hasan

Minggu, 29 Oktober 2017

2 Kelompok Perusak Dakwah

Dihikayatkan oleh sebagian Ulama:

ﺇﻥ ﻟﻠﺸﻴﻄﺎﻥ ﻣﻊ ﺑﻨﻲ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﻭﺍﺩﻳﺎﻥ ﻻ ﻳﺒﺎﻟﻲ ﻓﻲ ﺃﻳﻬﻤﺎ ﻫﻠﻚ ﻭﺍﺩ ﻣﻦ ﺍﻟﻐﻠﻮ ﻭ ﻭﺍﺩ ﻣﻦ ﺍﻟﺘﻘﺼﻴﺮ

“Syaithon memiliki dua lembah yang dihadapkan kepada anak manusia. Dia tidak peduli di lembah mana manusia akan binasa. Yaitu lembah al-ghuluw (melampaui batas), dan lembah at-taqshir (bermudah-mudahan)."

Melampaui batas dalam beragama dan bermudah-mudahan, keduanya perbuatan yang menjadi sebab fitnah dan merusak wibawa dakwah.

Syaikh Al-'Allamah Robi' bin Hadi Al-Madkholi berkata:

واعلموا أن الذين جندوا الحرب الدعوة السلفية صنفان من الناس

"Ketahuilah oleh kalian bahwa orang-orang yang mengerahkan perlawanan terhadap dakwah Salafiyyah ini ada dua kelompok:

صنف يميع هذا الدين ، فتراه يماشي الخرافيين وأهل البدعة والأحزاب والعلمانيين وغيرهم ويريدك أن تغض الطرف عن البدع والضلالات 

Pertama, kelompok yang bersikap lembek bermudah-mudahan dalam beragama. Maka engkau akan melihat mereka berjalan bersama khurofiyyin (pengandrung khurofat), ahlul bid'ah, hizbiyyin, orang-orang sekuler, dan selainnya. Mereka ingin supaya engkau menutup mata dari bid'ah-bid'ah maupun kesesatan.

وصنف آخر متعنت متشدد متزمت وكلهم كذابون ، لا يريدون إلا الإضرار بالدعوة السلفية وأهلها ، فعليكم بالوسط والإعتدال والجد في تحصيل العلم ، والجد والاستماته في نشر هذه الدعوة بالحكمة والموعظة الحسنة والأخلاق العالية 

Kedua, kelompok yang bersikap ekstrim, keras dan kaku, mereka semua adalah para pendusta. Mereka hendak merusak dakwah Salafiyyah dan orang-orang yang mengikutinya. Maka wajib atas kalian untuk bersikap pertengahan dan berlaku adil, senantiasa bersungguh-sungguh dalam meraih ilmu, bersungguh-sungguh dan berkorban dalam menyebarkan dakwah dengan cara yang hikmah, nasehat yang baik, serta akhlaq yang mulia." (Al-Lubab Min Majmu' Nasho'ih wa Tawjihat Asy-Syaikh Robi' Lisy Syabab hal. 133)

Fikri Abul Hasan

Telegram Channel
https://t.me/manhajulhaq

Kamis, 26 Oktober 2017

Islam Menolak Pengultusan

Pengultusan yang dimaksud adalah meyakini mampu mendatangkan manfaat, menolak mudhorot, memenuhi hajat, dan melindungi dari azab.

Islam menolak pengultusan terhadap siapapun termasuk terhadap diri Nabi shollallahu 'alaihi wasallam karena perbuatan tersebut termasuk kesyirikan yang dapat menggugurkan keislaman seseorang.

Dari Abu Huroiroh rodhiyallahu 'anhu:

قَامَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – حِينَ أَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ( وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الأَقْرَبِينَ ) قَالَ : ( يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ – أَوْ كَلِمَةً نَحْوَهَا – اشْتَرُوا أَنْفُسَكُمْ ، لاَ أُغْنِي عَنْكُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ، يَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ لاَ أُغْنِي عَنْكُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ، يَا عَبَّاسُ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ لاَ أُغْنِي عَنْكَ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ، وَيَا صَفِيَّةُ عَمَّةَ رَسُولِ اللَّهِ لاَ أُغْنِي عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ، وَيَا فَاطِمَةُ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَلِينِي مَا شِئْتِ مِنْ مَالِي لاَ أُغْنِي عَنْكِ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا

“Ketika turun ayat, “Dan berilah peringatan pada keluargamu yang terdekat”, maka Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam berdiri seraya bersabda, “Wahai orang-orang Quroisy -atau perkataan yang semisal- tebuslah diri-diri kalian, karena aku tidak kuasa sedikitpun melindungi kalian di hadapan Allah kelak. Wahai bani Abdi Manaf, aku tidak kuasa sedikitpun melindungi kalian di hadapan Allah. Wahai Abbas bin Abdil Muttholib, aku tidak kuasa sedikitun melindungi engkau di hadapan Allah. Wahai Shofiyyah bibi Rosulullah, aku tidak kuasa sedikitpun melindungi engkau di hadapan Allah. Wahai Fathimah binti Muhammad, mintalah dariku hartaku sekehendakmu, karena aku tidak kuasa sedikitpun melindungi engkau di hadapan Allah kelak.” (HR. Al-Bukhori 2753 dan Muslim 206)

Nabi shollallahu 'alaihi wasallam memerintahkan umatnya agar memutus segala harapan kepada selain Allah. Semua jenis peribadahan seperti istighotsah (meminta bantuan), isti’adzah (memohon perlindungan) hanya ditujukan kepada Allah semata. Inilah hakikat ajaran tauhid yang murni yaitu mengesakan Allah dan menghambakan diri hanya kepada-Nya saja.

Adapun Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam beliau hanya menjalankan misi risalah, menunaikan amanah yang semua itu adalah karunia dari Allah. Hanya Allah semata Dzat yang Mahaesa dalam kerajaan-Nya, Mahakuasa dengan segala kesempurnaan dan keagungan-Nya.

Lalu bagaimana dengan syafaat Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam kepada umatnya?

Syafaat Nabi di hari kiamat adalah ketetapan yang telah disepakati oleh para Ulama. Akan tetapi, kita memohon syafaat hanya kepada Allah semata yaitu dengan cara berdoa, “Ya Allah terimalah syafaat Nabi-Mu untuk kami.” Karena semua syafaat sesungguhnya hanya milik Allah:

قل لله الشفاعة جميعا

“Katakanlah, hanya milik Allah semata semua syafaat.” (Az-Zumar: 44)

Yaitu hanya Allah semata yang membukakan dan mengilhamkan Nabi-Nya sehingga beliau memberi syafaat kepada seseorang. Maka syafaat akan diperoleh bila terpenuhi syaratnya yaitu Allah mengizinkan pemberi syafaat dan meridhoi orang yang diberi syafaat. Dalilnya firman Allah ta’ala, “Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah kecuali dengan izin dari-Nya.” (Al-Baqoroh: 255)

Allah juga berfirman, “Dan betapa banyak para Malaikat di langit yang syafaat mereka tidak berguna sedikitpun, kecuali setelah Allah mengizinkan bagi orang yang Dia kehendaki dan Dia ridhoi.” (An-Najm: 26)

Allah juga berfirman, "Pada hari itu tidak berguna syafaat, kecuali (syafaat) orang yang Allah Maha Pemurah telah memberi izin kepadanya dan Dia telah meridhoi perkataannya.” (Thoha: 109)

Dengan demikian, tidak ada lagi alasan bagi siapa saja yang masih menggantungkan dirinya kepada selain Allah. Baik kepada para Nabi maupun kuburan orang-orang sholih.
____________

Fikri Abul Hasan

Selasa, 24 Oktober 2017

Wajib Menuntut Ilmu Apapun Profesinya

Terkait kesungguhan menuntut ilmu, bagaimana dengan ibu rumah tangga ustadz yang hanya mendatangi majelis ilmu sepekan sekali saja, apakah hal tersebut cukup?

Jawab: Kebutuhan ilmu bagi manusia sesungguhnya melebihi kebutuhan makan dan minum. Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata:

الناس يحتاجون إلى العلم قبل الخبز والماء لأن العلم يحتاج إليه الانسان في كل ساعة، والخبز والماء في اليوم مرة أو مرتين

"Manusia lebih butuh ilmu agama ketimbang roti dan air, karena ilmu dibutuhkan setiap saat, sedang roti dan air dalam sehari hanya sekali atau dua kali." (Thobaqot Al-Hanabilah 1/390)

Ilmu yang paling utama untuk dipelajari adalah ilmu yang hukumnya fardhu 'ain (wajib dipelajari atas setiap individu), khususnya ilmu tentang tauhid, aqidah yang benar dan manhaj dalam beragama. Ilmu-ilmu ini dipelajari untuk mengangkat kebodohan dari dalam diri dan agar selamat dari kesesatan.

Adapun bagi ibu rumah tangga maka lebih utama menuntut ilmu dari suaminya jika suami mampu mengajarinya, atau menghadiri majelis-majelis ilmu yang tidak jauh dari rumahnya, atau menggunakan buku atau media lainnya sambil bertanya kepada para ahli ketika mendapati suatu masalah. Dan kewajibannya dalam menuntut ilmu jangan sampai menelantarkan kewajibannya terhadap suami dan anak-anak.

Fikri Abul Hasan

Telegram Channel
https://t.me/manhajulhaq

Sabtu, 21 Oktober 2017

Macam-Macam Ikhtilaf, Tidak Semua Perbedaan Pendapat Diterima

Syaikh Al-'Allamah Sholih Al-Fawzan berkata, "Ikhtilaf (perbedaan pendapat) ada beberapa macam:

القسم الأول : الإختلاف في العقيدة وهذا لا يجوز ؛  لأنَّ العقيدة ليست مجالاً للاجتهاد والاختلاف لأنَّها مبنية على التوقيف ولا مسرح للاجتهاد فيها ، والنبي - صلى الله عليه وسلم - لمَّا ذكر افتراق الأُمة إلى ثلاث وسبعين فرقة قال : ( كُلُّها في النار إلاَّ واحدة ) . قيل : من هم يا رسول الله !؟ قال : ( هُم من كان على ما أنا عليه وأصحابي ) 

Pertama, perbedaan dalam masalah aqidah. Khilaf dalam hal ini tidak diperbolehkan, karena perkara aqidah tidak membuka ruang ijtihad di dalamnya maupun perbedaan pendapat. Perkara aqidah dibangun di atas dalil dan menutup pintu ijtihad. Sebab itu ketika Nabi shollallahu 'alaihi wasallam menyebutkan tentang perpecahan umat menjadi 73 golongan beliau menegaskan, "Semuanya di neraka kecuali hanya satu golongan saja yang selamat. Ditanyakan kepada beliau, "Siapakah mereka (golongan yang selamat itu) wahai Rosulullah? Beliau menjawab, "Mereka adalah orang yang beragama dengan cara beragamaku dan cara beragama para Shohabatku."

القسم الثاني : الخلاف الفقهي الذي سببه الاجتهاد في استنباط الأحكام الفقهية من أدلتها التفصيلية ، إذا كان هذا الاجتهاد مِمَّن تَوَفَّرت فيه مؤهلات الاجتهاد ، ولكنه قد ظهر الدليل مع أحد المجتهدين ؛ فإنَّه يجب الأخذ بما قام عليه الدليل وترك ما لا دليل عليه 

Kedua, perbedaan pemahaman. Khilaf (perbedaan) dalam hal ini muncul karena adanya ijtihad ketika mengambil kesimpulan hukum fiqh dari dalil-dalilnya secara rinci, selama ijtihadnya itu memenuhi syarat dan berasal dari para ahlinya. Akan tetapi, jika dalilnya telah nampak di hadapan salah seorang mujtahid maka wajib baginya mengambil yang sesuai dalil dan meninggalkan perkara yang tidak ada landasan dalilnya.

قال الإمام الشافعي - رحمه الله - : ( أجمعت الأُمَّة على أنَّ من استبانت له سُنَّة رسول الله - صلى الله عليه وسلم - لم يَكُن ليدعها لقولِ أَحد . وذلك لقول الله تعالى : فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً ) 

Al-Imam Asy-Syafii - rohimahullah - berkata, "Para Ulama telah bersepakat, bila telah jelas gamblang sunnah Rosulillah shollallahu 'alaihi wasallam maka tidak boleh bagi siapapun meninggalkannya lantaran mengikuti pendapat seseorang. Karena Allah ta'ala berfirman, "Jika kalian berselisih pendapat tentang suatu perkara maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rosul-Nya, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik lagi akibatnya."

Sebagian Ulama berkata:

وليس كُلُّ خِلاف جاء معتبرًا ... إلاَّ خِلاف له حَظٌّ مِن النظر

"Tidaklah setiap khilaf itu mu'tabar (diakui), kecuali khilaf yang mempunyai sudut pandang (hujjah)."

القسم الثالث : الاجتهاد الفقهي الذي لم يظهر فيه  دليل مع أحد المختلفين ، فهذا لا يُنْكَر على مَن أَخذ بأحد القولين ، ومِن ثم جاءت العبارة المشهورة : لا إنكار في مسائل الاجتهاد وهذا الاختلاف لا يُوجِب عداوة بين المختلفين . لأنَّ كُلاًّ منهم يَحتمل أَنَّهُ على الحقِّ

Ketiga, perbedaan yang bersumber dari ijtihad fiqhi (pemahaman) berhubung dalilnya belum nampak di antara para Ulama yang berselisih pendapat. Maka dalam hal ini tidaklah diingkari jika seseorang mengambil salah satu pendapat. Oleh sebab itu, ada ungkapan yang masyhur terkait hal ini yaitu, "Tidak ada pengingkaran dalam menyikapi masalah ijtihad (yang diperselisihkan)". Khilaf dalam masalah ini tidak melazimkan percekcokan di antara keduabelah pihak yang berbeda pendapat. Karena masing-masingnya ada kemungkinan berada di atas al-haq." (Al-Ijtima' wa Nabdzul Furqoh hal. 48 - 50)
__________________________

Fikri Abul Hasan

Senin, 16 Oktober 2017

Kesungguhan dalam Menuntut Ilmu

Ada yang berkata, "Bagaimana menurutmu tentang orang yang sibuk menghabiskan waktunya untuk mengumpulkan harta sedang di malam harinya sibuk mencampuri isterinya, mungkinkah orang seperti itu menjadi faqih (paham agama)?

كلا والله ، إن العلم لا يحصل إلا لمن اعتضد الدفاتر ، وحمل المحابر ، وقطع القفار ، وواصل في الطلب الليل والنهار

"Demi Allah, tidak mungkin! Sesungguhnya ilmu tidak akan diperoleh kecuali dengan mendekap buku catatan, membawa tinta, sepotong roti, dan terus mengejarnya di malam dan siang hari." (Syarh Awa'iqut Tholab hal. 18 - Syaikh Al-'Allamah Abdussalam bin Barjas)

Dari Abud Darda', aku mendengar Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda:

إن الملائكة لتضع أجنحتها لطالب العلم رضا بما يصنع 

"Sungguh para Malaikat membentangkan sayapnya bagi para penuntut ilmu lantaran ridho atas yang mereka perbuat." (HR. Abu Dawud 3641, At-Tirmidzi 2625, Ibnu Majah 223, dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam "Shohihul Jami'" 6297)

Semoga Allah merohmati para tholabatul 'ilmi yang menghabiskan waktunya di jalan Allah, memberkahi ilmu mereka, usia mereka, mengampuni dosa-dosa mereka, melapangkan rizki mereka, serta menganugerahkan mereka kesabaran dan istiqomah.

Fikri Abul Hasan

Telegram Channel
https://t.me/manhajulhaq

Jumat, 13 Oktober 2017

Hikmah Dibalik Sakit

Berkata Syaikh Al-'Allamah Sholih Al-Fawzan, bahwa hikmah dibalik sakit antara lain:

تنذرك بالرحيل من هذه الدنيا وأنك لن تبقى فيها منعما وسالما فهي تذكرك بالموت لأجل أن تستعد له فهذا من فوائد المرض والآفات أنه ينبهك بالموت وقرب الرحيل 

"Mengingatkan dirimu kelak akan meninggalkan dunia dan tidak selamanya engkau hidup di dunia ini dengan kenikmatan dan dalam keadaan sehat. Maka sakit itu mengingatkan engkau dari kematian sehingga engkau lebih mempersiapkan diri sebelum ajal itu datang. Inilah di antara hikmah adanya sakit yaitu memperingatkan engkau dari kematian serta dari perjalanan dunia ini yang hanya sementara.

وأن تتذكر أن هذه الدنيا ليست بدار مقام وﻻ بدار لذة وسرور وإنما هي دار ابتلاء وامتحان فهذا من فوائد الأمراض والآفات التي تصيب المسلمين

Mengingatkan dirimu bahwa dunia bukanlah tempat tinggal yang abadi, kesenangan dan kebahagiaan, akan tetapi dunia ini sebagai tempat ujian dan cobaan. Ini termasuk hikmah adanya sakit yang menimpa kaum muslimin.

أما لو أنهم لم يمرضوا ولم يصبهم شيء لغفلوا عن أنفسهم وساموا في هذه الدنيا ولم ينتبهوا حتى يفاجئهم الموت وهم على غفلة وعلى غرة

Andaikata manusia tidak pernah merasakan sakit atau ditimpa suatu musibah maka diri-diri mereka akan lalai dan di dunia mereka celaka dan tidak akan mawas diri sampai kematian datang mendadak sedang mereka dalam keadaan lalai dan terpedaya." (Syarh Mandzhumatil Adabis Syar'iyyah hal. 293)

Fikri Abul Hasan

Selasa, 10 Oktober 2017

Ujian Mengikuti Al-Haq (Kebenaran)

Syaikh Al-'Allamah Abdurrohman bin Yahya Al-Mu'allimi berkata:

واعلم أن الله تعالى قد يوقع بعض المخلصين في شيء من الخطأ ابتلاءً لغيره، أيتبعون الحق ويدعون قوله، أم يغترون بفضله وجلالته؟ 

"Ketahuilah olehmu, terkadang Allah menggelincirkan sebagian 'alim dalam suatu kesalahan sebagai ujian bagi yang lain, apakah mereka lebih memilih mengikuti al-haq dan meninggalkan ucapannya? Ataukah terpedaya dengan keutamaan orang 'alim tersebut dan kecerdasannya? 

وهو معذور، بل مأجور لاجتهاده وقصده الخير وعدم تقصيره، لكن من اتّبعه مغتراً بعظمته بدون التفات إلى الحجج الحقيقية من كتاب الله وسنة رسوله فلا يكون معذورا ، بل هو على خطر عظيم 

Tidak diragukan lagi sang 'alim yang terjatuh dalam kesalahan itu diberi 'udzur, bahkan mendapat pahala lantaran cara ijtihadnya yang benar serta niat baiknya tanpa bermudah-mudahan. Akan tetapi, barangsiapa yang mengikutinya (dalam kesalahan itu) karena tertipu dengan keutamaan 'alim tersebut tanpa melihat kepada hujjahnya yang hakiki dari kitabullah dan sunnah Rosul-Nya maka mereka tidaklah mendapat ‘udzur, bahkan berada dalam bahaya yang besar!" (Atsar Asy-Syaikh Al-‘Allamah Abdurrohman bin Yahya Al-Mu’allimi 2/294)

Fikri Abul Hasan

Telegram Channel
https://t.me/manhajulhaq

Senin, 09 Oktober 2017

Allah Tinggi Di Atas 'Arsy-Nya, Bukan Dimana-Mana

Al-Imam Al-Baihaqi dengan sanadnya menukil manuskrip yang dibacakan oleh Syaikh Abu Bakr Ahmad bin Ayyub tentang madzhab Ahlussunnah:

الرحمن على العرش استوى بلا كيف والآثار عن السلف في مثل هذا كثيرة وعلی هذه الطريق يدل مذهب الشافعي رضي الله عنه وإليها ذهب أحمد بن حنبل والحسين بن الفضل البجلي ومن المتأخرين أبو سليمان الخطابي

“Dzat Allah tinggi berada di atas Arsy-Nya, tanpa menanyakan bagaimana hakikatnya, dan atsar dari Salafussholih terkait masalah ini sangatlah banyak. Di atas jalan inilah madzhab Asy-Syafii rodhiyallahu ‘anhu, madzhab Ahmad bin Hanbal, Al-Husain bin Al-Fadhl Al-Bajali serta para Ulama muta’akkhirin seperti Abu Sulaiman Al-Khotthobi." (Al-Asma’ was Shifat 2/308)

Salah seorang murid Al-Imam Asy-Syafii yang terkenal yaitu Al-Imam Ismail bin Yahya Al-Muzani berkata:

عال على عرشه في مجده بذاته وهو دان بعلمه من خلقه أحاط علمه بالأمور

"Allah Tinggi di atas Arsy-Nya sesuai kemuliaan-Nya dengan Dzat-Nya, Dia dekat dari hamba-Nya dengan ilmu-Nya, dan ilmu-Nya meliputi segala perkara." (Syarhussunnah Al-Muzani hal. 75)

Jadi perkataan Allah ada dimana-mana, di dalam hati, atau menyatu dengan manusia, bukanlah madzhab Ahlussunnah, bukan madzhab Asy-Syafii. Ucapan seperti itu adalah ucapan yang batil menyelisihi dalil-dalil Al-Qur’an was Sunnah serta ijma’ Salaf. 

Keyakinan yang benar adalah Allah berada di atas langit ke tujuh Tinggi di atas Arsy-Nya, tanpa membutuhkan Arsy-Nya, sebagaimana Allah tidak butuh ibadah hamba-Nya. Inilah aqidah Ahlussunnah. Allah berfirman:

الرحمن على العرش استوى

"Dzat Allah Tinggi di atas Arsy-Nya.” (Thoha: 5)

Allah juga berfirman:

أأمنتم من في السماء 

"Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di atas langit." (Al-Mulk : 16)

Redaksi "Fis sama'" dalam ayat ini bermakna di atas, bukan di dalam langit terkungkung oleh ruang dan waktu. Karena kata "Fi" dalam bahasa Arab bisa bermakna "'Ala" (di atas) seperti firman Allah:

ولأصلبنكم في جذوع النخل

"Dan sungguh aku (Fir'aun) akan menyalib kalian di atas pohon kurma." (Thoha: 71)

Juga firman Allah:

فسيحوا في الأرض أربعة أشهر

"Maka berjalanlah kalian (orang-orang musyrik) di atas bumi selama empat bulan." (At-Taubah: 2)

Al-Imam Abul Hasan Al-Asy'ari berkata, "Kelompok Mu'tazilah, Jahmiyyah, Haruriyyah menerjemahkan istiwa dengan istila (menguasai), ini tidak benar, jika demikian adanya maka tidak ada perbedaan antara Arsy dan bumi. Karena jika Allah beristiwa di atas Arsy-Nya diartikan "menguasai", padahal Dia menguasai segala sesuatu, berarti Dia beristiwa di atas Arsy, bumi, langit, rerumputan dan kotoran! Mahatinggi Allah atas yang demikian itu. 

Mu'tazilah, Jahmiyyah, Haruriyyah juga mengklaim Allah berada dimana-mana, anggapan ini mengonsekuensikan mereka untuk mengatakan Allah juga berada di dalam perut Maryam, di atas rerumputan, dan tempat-tempat yang kosong (yang dibatasi oleh ruang dan waktu)! Mahatinggi Allah dari apa yang mereka ucapkan." (Al-Ibanah hal. 219)

Begitupula kebersamaan Allah dengan makhluk-Nya tidaklah menafikan ketinggian Allah berada di atas Arsy-Nya. Sebab ilmu Allah meliputi segala sesuatu, Dia mengetahui apa yang dilakukan oleh hamba-hamba-Nya. 

Kebersamaan Allah dengan makhluk-Nya tidaklah bermakna percampuran, menyatu dengan hamba-Nya, maupun persekutuan. Akan tetapi kebersamaan Allah yang dimaksud adalah dengan ilmu-Nya sebagaimana yang ditunjukkan oleh dalil-dalil Al-Qur'an was Sunnah. Hal ini telah disepakati oleh para shohabat, tabiin dan tabiit tabiin.

Fikri Abul Hasan

Minggu, 08 Oktober 2017

Tidak Selamanya "Tidak Tahu" Terpuji

Al-Imam Adz-Dzahabi berkata, dari Abu Muthi’ Al-Hakam bin Abdillah Al-Balkhi penyusun kitab "Al-Fiqhul Akbar", ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Abu Hanifah tentang perkataan seseorang, “Aku tidak tahu dimanakah Robbku, di langit atau di bumi?” Maka Abu Hanifah berkata:

قد كفر لأن الله تعالى يقول الرحمن على العرش استوى وعرشه فوق سموات

“Sungguh telah kafir orang yang berkata seperti itu, karena Allah ta’ala berfirman, “Allah tinggi berada di atas ‘Arsy-Nya”, dan ‘Arsy Allah berada di atas langit (ke tujuh).” (Al-‘Uluw hal. 135)
____________________________

Fikri Abul Hasan

Sabtu, 07 Oktober 2017

Referensi Kitab-Kitab Aqidah

Mohon nasehatnya Ustadz kitab-kitab aqidah apa saja yang perlu dipelajari oleh para penuntut ilmu khususnya bagi pemula?

Jawab: Kitab-kitab aqidah yang dinasehatkan oleh para Ulama untuk dipelajari para penuntut ilmu antara lain sebagai berikut:

(1). Kitab "Tsalatsatul Ushul" karya Syaikhul Islam Muhammad bin Abdil Wahhab. Kitab ini berisi tentang penjelasan tauhid, tiga hal yang wajib diketahui oleh setiap muslim, dan prinsip al-wala' wal baro'. Kitab ini disyarh (diberi penjelasan) oleh para Ulama di antaranya Syaikh bin Baz, Syaikh Muhammad Aman Al-Jami, Syaikh Zaid Al-Madkholi.

(2). Kitab "Kasyfus Syubuhat" karya Syaikhul Islam Muhammad bin Abdil Wahhab. Kitab ini berisi tentang penetapan tauhid, penjelasan lawannya tauhid yaitu syirik, serta membantah syubuhat (kerancuan-kerancuan) yang dilontarkan ahlul batil dari kalangan penyembah kubur. Kitab ini disyarh oleh Syaikh bin Baz, Syaikh Muhammad bin Sholih Al-'Utsaimin, Syaikh Sholih Al-Fawzan dan para Ulama yang lainnya.

(3). Kitab "Al-Qowa'idul Arba'" karya Syaikhul Islam Muhammad bin Abdil Wahhab. Kitab ini berisi tentang empat kaidah penting dalam memahami esensi tauhid dan syirik, serta penjelasan kemusyrikan yang dilakukan oleh orang-orang di zaman ini yang jauh lebih parah. Kitab ini disyarh oleh Syaikh bin Baz, Syaikh Sholih Al-Fawzan, Syaikh Abdurrozzaq Al-Badr (audio).

(4). Kitab "Fat-hul Majid" karya Syaikh Abdurrohman bin Hasan Alu Syaikh. Kitab ini berisi penjelasan atas _"Kitab Tauhid"_ karya Syaikhul Islam Muhammad bin Abdil Wahhab dengan penjelasan yang sangat luas dan argumentatif. Kitab ini diberi ta'liq (komentar) oleh Syaikh Muhammad Hamid Al-Faqi.

(5). Kitab "Al-'Aqidah Al-Wasithiyyah" karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Kitab ini ditulis atas permintaan seorang Qodhi (hakim) dari kota Wasith di Iraq. Kitab ini mengulas definisi Ahlussunnah wal Jamaah, tauhid al-asma' was shifat, Al-Qur'an kalamullah bukan makhluk, iman, qodho dan qodar, kedudukan para Shohabat, syafaat, kiamat dan segala sesuatu yang berkaitan dengan aqidah Ahlussunnah. Kitab ini banyak disyarh oleh para Ulama.

(6). Kitab "Al-Aqidah Ath-Thohawiyyah" karya Abu Ja'far Ath-Thohawi. Kitab ini merangkum pokok-pokok aqidah Ahlussunnah wal Jamaah. Syarhnya yang populer ditulis oleh Al-Imam Ibnu Abil 'Izz Al-Hanafi dan sudah ditahdzib, ditakhrij, dita'liq oleh Syaikh Abdul Akhir Hammad Al-Ghunaimi.

(7). Kitab "Aqidatussalafi Ash-habil Hadits" karya Al-Imam Ash-Shobuni Asy-Syafii. Kitab ini juga merangkum pokok-pokok aqidah Ahlussunnah wal Jamaah, disyarh oleh Syaikh Robi' bin Hadi Al-Madkholi.

(8). Kitab "Syarhussunnah" karya Al-Imam Al-Muzani (murid Al-Imam Asy-Syafii) disyarh oleh Syaikh Abdul Aziz Ar-Rojihi. Juga "Syarhussunnah" karya Al-Imam Al-Barbahari disyarh oleh Syaikh Ahmad An-Najmi dan Syaikh Sholih Al-Fawzan.

(9). Kitab "Syarh Ushul I'tiqod Ahlissunnah" karya Al-Imam Al-Lalaka'i yang ditahqiq oleh Syaikh Ahmad bin Sa'd Al-Ghomidi.

(10). Kitab "Ushulussunnah" karya Al-Imam Ahmad yang disyarh oleh Syaikh Robi' bin Hadi Al-Madkholi.

Insyaallah melalui kitab-kitab tersebut para tholabatul ilmi akan mengenal lebih dekat aqidah Nabi shollallahu 'alaihi wasallam dan para shohabat secara pasti dan meyakinkan, mampu membedakan al-haq dari al-batil, menguatkan manhaj dan keimanan utamanya di masa fitnah seperti sekarang. Karena kedudukan aqidah laksana pondasi bagi sebuah bangunan.

https://t.me/manhajulhaq

Jumat, 06 Oktober 2017

Mut'ah Menurut Madzhab Asy-Syafii

Al-Imam Asy-Syafii mewajibkan mut'ah bagi seorang suami. Dalilnya adalah firman Allah ta'ala:

وللمطلقات متاع بالمعروف حقا على المتقين

"Wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberi) mut’ah (oleh suaminya) menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Al-Baqoroh: 241)

Mut'ah yang dimaksud dalam ayat ini adalah:

مال يجب على الزوج دفعه لامرأته المفارقة له بطلاق أو فراق

"Harta pemberian yang wajib diberikan oleh suami kepada isteri yang telah dicerainya."

Ihwal Wajibnya Memberi Mut'ah

1. Jika isteri dicerai setelah dicampuri.
2. Jika isteri dicerai sebelum dicampuri dan maharnya belum ditentukan sewaktu akad.
3. Jika status hukumnya tergolong cerai, seperti murtad, li'an (saling melaknat dalam kasus tuduhan zina), setelah dicampuri. Atau belum dicampuri akan tetapi belum ditentukan maharnya.

Adapun isteri yang dicerai sebelum dicampuri namun mahar sudah ditentukan sewaktu akad nikah, maka tidak ada mut'ah baginya, karena dia sudah mendapatkan separuh maharnya.

Kadar Mut'ah

1. Bila sudah disepakati bersama kadarnya oleh suami isteri, baik besar nilainya ataupun kecil maka sah berlaku.
2. Bila tidak sepakat maka putusannya diserahkan kepada hakim di pengadilan dengan mempertimbangkan kondisi keduabelah pihak. Allah berfirman, "Dan hendaklah kalian berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya, dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut." (Al-Baqoroh: 236)

Akan tetapi disunnahkan kadar mut'ah tidak kurang dari 30 dirham atau yang senilai dengannya, dan tidak mencapai separuh mahar mitsl (semisal mahar kerabat wanita isteri)

Hikmah Pensyariatan Mut'ah

Hikmahnya agar memulihkan hati isteri yang dicerai, ridho berpisah dari rumah suaminya, meringankan keberangannya akibat perceraian.(Faidah dari Kitab "Al-Fiqhul Manhaji 'ala Madzhabil Imam Asy-Syafii" 2/81-82 - Musthofa Al-Khin, Musthofa Al-Bugho, Ali Asy-Syarbaji)

Fikri Abul Hasan

Telegram Channel
http://t.me/manhajulhaq

Rabu, 04 Oktober 2017

Syubhat "Tidak Membid'ahkan Orang yang Menampakkan Bid'ah Sampai Ditegakkan Hujjah"

Syaikh Al-'Allamah Sholih Al-Fawzan ditanya terkait pemikiran baru yang tersebar di antara pemuda dimana dikatakan, "Kita tidak membid'ahkan orang yang menampakkan bid'ah sampai kita tegakkan hujjah"?

Beliau -hafidzhohullah- menjawab:

وأما إن فعله عن جهل وظن أنه حق ولم يبين له ، فهذا معذور بالجهل ، لكن في واقع أمره يكون مبتدعا ، ويكون عمله هذا بدعة ، ونحن نعامله معاملة المبتدع ، ونعتبر أن عمله هذا بدعة. 

"Adapun apabila dia berbuat bid'ah lantaran kejahilannya (tidak mengerti) dan menyangka dirinya di atas kebenaran dan belum ada yang memberi penjelasan kepadanya, maka dia diberi 'udzur (dimaklumi) karena kejahilannya. Akan tetapi pada realitanya dia tergolong ahlul bid'ah dan amalannya itu bid'ah, dan muamalah kami bersamanya seperti muamalah kami terhadap ahlul bid'ah, dan kami menganggap amalannya adalah amalan bid'ah.

وننصح الشباب الذين يسلكون هذا المنهج ، و يحكمون على الأشياء حسب أهوائهم : أن يتقوا الله ، وأن لا يتكلموا في الدين إلا عن علم ومعرفة 

Dan kami nasehatkan para pemuda yang berjalan di atas manhaj yang batil itu, dan menghukumi segala perkara menurut hawa nafsu mereka, maka hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan janganlah berbicara dalam urusan agama ini kecuali dengan ilmu dan pemahaman yang benar." (Al-Muntaqo Min Fatawa Syaikh Sholih Al-Fawzan 1/527 secara ringkas)

Fikri Abul Hasan

Telegram Channel
https://t.me/manhajulhaq

Kapan Seseorang Disebut Ahlul Bid'ah?

Apakah setiap orang yang melakukan bid’ah disebut ahlul bid’ah? Kapan berlakunya penyebutan ahlul bid’ah terhadap seseorang?

Jawab Syaikh Al-'Allamah Abdul 'Aziz bin Baz:

الأصل وما يسمى أن من فعل بدعة يقال له مبتدع، هذا هو الأصل، من فعل بدعة يقال له مبتدع، لكن إذا كان جاهلاً يعلم ومتى تاب لا يسمى مبتدعاً، وإذا أصر يسمى مبتدع على حسب بدعته، فالذي يصر على الاحتفال بالمولد أو بالموالد الأخرى يسمى مبتدع حتى يتوب، والذي يصر على البناء على القبور والصلاة عند القبور أو بناء المساجد عليها، أو قراءة الكتب عليها يسمى مبتدع وهكذا من فعل البدعة التي حرمها الله يسمى مبتدع 

"Hukum asalnya barangsiapa yang melakukan bid’ah maka dia disebut mubtadi' (ahlul bid’ah). Ini hukum asalnya. Barangsiapa yang berbuat bid’ah maka dia disebut ahlul bid'ah. Akan tetapi jika dia jahil (tidak mengerti) maka ajarilah dia. Apabila dia mau bertaubat, maka tidak disebut sebagai ahlul bid'ah. Namun jika dia terus-menerus di atas bid'ahnya maka disebut ahlul bid'ah sesuai kadar kebid’ahannya. Maka orang yang terus-menerus merayakan maulid Nabi, atau maulid-maulid yang lain, maka dia disebut ahlul bid'ah sampai dia mau bertaubat kepada Allah. Orang yang terus-menerus membikin bangunan di atas kuburan, sholat di sisi kuburan, membangun masjid di atasnya, membaca kitab-kitab di atas kuburan, maka dia disebut ahlul bid'ah. Demikianlah orang yang melakukan kebid’ahan yang telah Allah haromkan, maka dia disebut ahlul bid'ah.

يقول النبي - صلى الله عليه وسلم -:(إياكم ومحدثات الأمور فإن كل بدعةٍ ضلالة)، ويقول عليه الصلاة والسلام في الحديث الصحيح في خطبة الجمعة:(أما بعـد فإن خير الحديث كلام الله، وخير الهدي هدي محمد - صلى الله عليه وسلم - وشر الأمور محدثاتها وكل محدثةٍ بدعة، وكل بدعةٍ ضلالة)، ويقول - صلى الله عليه وسلم -: (من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد)

Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Hati-hatilah kalian dari perkara baru yang diada-adakan dalam beragama, karena setiap bid’ah itu adalah kesesatan.” Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda dalam hadits yang shohih sewaktu khutbah Jumat, “Amma ba’d, sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah kalamullah (Al-Qur'an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad -shollallahu ‘alaihi wasallam- dan sejelek-jelek urusan adalah perkara baru yang diada-adakan dalam beragama, dan setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu adalah kesesaan.” Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, "Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan, yang tidak sesuai ajaran kami, maka amalan itu tertolak.”

فالمسلم يمتثل أمر الرسول - صلى الله عليه وسلم - ويؤيد ما فعله عليه الصلاة والسلام ويحذر من البدع ويسمى أهلها مبتدعين حتى يتوبوا إلى الله عز وجل، والجاهل يعلم ومن تاب تاب الله عليه.

Maka seorang muslim berupaya menjalankan perintah Rosul shollallahu ‘alaihi wasallam dan menyokong apa yang diamalkan oleh beliau 'alaihissholatu wassalam, serta mentahdzir (memperingatkan manusia) dari bahaya bid’ah dan menyebut para pelakunya sebagai ahlul bid’ah sampai mereka bertaubat kepada Allah 'azza wa jalla. Adapun orang yang jahil (tidak mengerti), maka dia diajari dengan ilmu, dan siapa saja yang bertaubat maka Allah akan menerima taubatnya." (Via binbaz.org.sa/noor/1838)

Syaikh Al-'Allamah Robi' bin Hadi Al-Madkholi berkata, "Ahlul bid'ah sekarang ini mayoritas wal-'iyadzubillah! Maka kita tidaklah menghajr (memboikot) mereka semua, mereka adalah medan dakwah kita, kita ajak mereka kembali ke jalan Allah dengan cara yang hikmah dan nasehat yang baik. Adapun para pimpinan dan penggeraknya dan para dai yang mengajak kepada kebatilannya, baik melalui buku-buku, majalah, rekaman, ceramah, maupun situs-situs mereka, maka kita memerangi mereka dan mentahdzir (memperingatkan manusia) dari bahaya penyimpangan mereka, tidak duduk bersama mereka dan tidak mengambil faidah dari mereka." (Majmu'ah Kutub wa Rosa'il wa Fatawa Al-'Allamah Robi' bin Hadi Al-Madkholi 2/351)

Beliau hafidzhohullah juga berkata, "Ahlul bid'ah seperti Syiah Rofidhoh, Khowarij, Jahmiyyah, Qodariyyah, Mu'tazilah, Shufiyyah, Quburiyyah, Murji'ah, dan yang mengikuti manhaj mereka seperti Ikhwanul Muslimin, Jamaah Tabligh, dan semisal mereka." (Al-Mawqifus Shohih min Ahlil Bida' hal. 27)

Fikri Abul Hasan

Telegram Channel
https://t.me/manhajulhaq

Selasa, 03 Oktober 2017

Waro' (Hati-Hati) Pemberian Penguasa

Syaikh Al-'Allamah Bakr Abu Zaid berkata, dari Sufyan Ats-Tsawri -rohimahullahu ta'ala- beliau berkata:

كنت أوتيت فهم القرآن فلما قبلت الصرة سلبته

"Dahulu aku dianugerahi pemahaman tentang Al-Qur'an, akan tetapi setelah aku menerima "shurroh", hilanglah pemahaman itu dariku." (Tadzkirotus Sami' wal Mutakallim hal. 19)

Syaikh Al-Allamah Al-'Utsaimin menjelaskan, "Shurroh artinya hadiah dari penguasa, tatkala Sufyan menerima hadiah itu maka hilanglah pemahaman beliau. Mereka adalah orang-orang jeli terhadap suatu urusan, sebab itu para Salafussholih sangat menjaga diri dari pemberian para penguasa. Mereka berkata, "Tidaklah para penguasa memberi kita hadiah melainkan untuk membeli agama kita lalu menukarnya dengan dunia mereka". Sebagaimana yang telah diketahui, tidak boleh bagi seorang 'alim menerima hadiah dari penguasa, yakni bila maksud pemberian itu untuk menunggangi si 'alim supaya dapat dikendalikan olehnya. Adapun jika sang penguasa mengumpulkan hartanya dengan cara yang bersih, dan si 'alim itu tidak mengambil hadiah untuk menjual agamanya, maka Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Adapun harta yang datang kepadamu sedang engkau tidak mengharap dan memintanya maka ambillah, selain itu maka janganlah engkau mengharapkannya." Tujuan Sufyan mengungkapkan hal itu sebagai peringatan sekaligus penyesalan atas apa yang beliau lakukan." (Syarh Hilyah Tholibil 'Ilmi hal. 20)

Bermudah-mudahan mendatangi penguasa tanpa keperluan yang mendesak, menerima hadiah, akan menjatuhkan wibawa seorang 'alim dan melenyapkan keberkahan ilmunya. Dahulu Pangeran Abdullah bin Abdil 'Aziz Alu Su’ud, gubernur Qoshim, memberi kendaraan baru kepada Syaikh Al-’Utsaimin sebagai hadiah, maka Syaikh menyuruh puteranya untuk mengembalikan pemberian itu kepada Pangeran dan ucapkan terima kasih atas kemurahan hatinya dan beritahukan kepadanya bahwa aku tidak membutuhkannya.

Perhatikan bagaimana sikap waro' para Ulama dalam bermuamalah dengan penguasa, meski para Ulama Ahlussunnah (di Saudi) acapkali dituding sebagai "Ulama Sulthon" (Ulamanya Penguasa).

Fikri Abul Hasan

Telegram Channel
https://t.me/manhajulhaq