Minggu, 03 Januari 2016

Hikmah Beriman Kepada Taqdir

Salah satu karya Syaikh Al-'Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dalam masalah taqdir adalah kitab beliau yang berjudul, “Al-Jami’us Shahih Fil Qadar”. Yaitu kumpulan hadits-hadits shahih seputar taqdir sebagai rukun iman yang keenam.

Syaikh Muqbil berkata, “Di antara buah iman kepada taqdir ialah niat yang ikhlas karena Allah. Orang yang beriman kepada taqdir niat amalnya bukan untuk mencari keridhaan manusia. Karena ia mengerti bahwa tidak ada manusia yang dapat memberi manfaat sedikitpun kepadanya dengan sesuatu yang tidak Allah taqdirkan, dan tidak pula mereka mampu menimpakan mudharat sedikitpun atas dirinya dengan sesuatu yang tidak Allah taqdirkan. Keimanan kepada taqdir juga membuahkan keberanian mental dan kekokohan hati. Karena ia menyadari bahwa ia tak akan mati jika ajalnya belum datang. Keimanan kepada taqdir juga membuahkan motivasi untuk bersabar dan mengharap pahala dari Allah.” (Al-Jami’us Shahih Fil Qadar hal. 11-12)

Kesabaran dan harapan baik itu ada karena ia mengerti bahwa semua yang terjadi di dunia ini, sampaipun rumput yang bergoyang, terjadi dengan kehendak Allah dan di bawah kekuasaan-Nya serta dilatari hikmah-Nya dan keadilan-Nya yang Mahasempurna.

Beriman kepada taqdir juga akan membuahkan tawakkal kepada Allah. Tawakkal adalah inti ibadah, dan tawakkal dinilai tidak sah kecuali bagi orang yang beriman kepada taqdir dengan pemahaman yang benar.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berkata, “Syaikh kami (yakni Ibnu Taimiyyah) berkata, “Tawakkal sama sekali tidak pernah terbayangkan ada dalam diri para filosof. Tidak pula Qadariyyah (kelompok penolak taqdir) yang mengatakan bahwa dalam kekuasaan Allah ada yang tidak dikehendaki-Nya. Tidak pula Jahmiyyah yang menafikan sifat-sifat Allah. Dan tawakkal tidak benar penerapannya kecuali atas mereka yang menetapkan sifat-sifat Allah (sesuai dengan keagungan-Nya yang Mahasempurna yakni Ahlussunnah wal Jama’ah).” (Madarijus Salikin 2/218)

Ketentuan Allah dalam taqdir-Nya jangan sekali-kali diserupakan dengan keputusan seorang hakim dalam pengadilan. Hakim dan Jaksa tentu akan dianggap zalim bila memutuskan seseorang dengan hukuman 20 tahun penjara padahal orang yang divonisnya itu belum berbuat apa-apa. Berbeda dengan ketentuan Allah dalam taqdir-Nya atas si Fulan di neraka, si Fulan di surga, karena Allah Mahatahu apa yang akan terjadi dan apa yang dilakukan oleh hamba-hamba-Nya. Bahkan Allah Mahatahu segala sesuatu sebelum sesuatu itu ada.

Maka orang-orang yang menolak adanya taqdir, seperti kelompok Syi’ah Rafidhah, Mu’tazilah, mereka mengklaim kemunduran umat disebabkan keimanannya kepada taqdir, umat menjadi pemalas karena beriman kepada taqdir. Ini jelas pemikiran yang sesat dalam memahami konsep taqdir. Seolah beriman kepada taqdir berarti menafikan usaha, beramal, berjuang dan berjihad di jalan Allah guna meraih keridhaan-Nya. 

Sebaliknya kelompok Jabriyyah tenggelam dalam kesyirikan, kekufuran, kebid’ahan dan kemaksiatan dengan alasan beriman kepada taqdir. Menurut mereka, semua yang terjadi pada diri manusia hanyalah seperti matahari yang terbit dari ufuk timur dan tenggelam di ufuk barat dengan menihilkan syariat Allah sama sekali.

Adapun Ahlussunnah wal Jama’ah berada di poros tengah antara dua kelompok ekstrim di atas. Ahlussunnah mengimani taqdir Allah sambil tetap berusaha, beramal dan berjuang demi meraih keridhaan-Nya. Allah berfirman:

"Sesungguhnya Aku menciptakan segala sesuatu dengan qadar.” (Al-Qamar: 49)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

“Allah telah mencatat taqdir-taqdir makhluk-Nya 50.000 tahun sebelum Dia ciptakan langit-langit dan bumi.” (HR. Muslim)

Zaid bin Tsabit menceritakan dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda:

"Seandainya engkau memiliki emas sebesar gunung Uhud dan engkau infaqkan di jalan Allah, maka Allah tidak akan menerimanya sampai engkau beriman kepada taqdir, dan engkau meyakini bahwa apa yang telah ditaqdirkan akan menimpamu tidak akan meleset darimu, dan apa yang ditaqdirkan tidak menimpamu tidak akan mengenaimu. Sungguh, seandainya engkau mati tanpa beriman kepada taqdir, engkau akan masuk ke dalam neraka.” (HR. Abu Dawud dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani dalam "Shahihul Jami'" 5244)

Para Shahabat pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah kita bersandar saja kepada taqdir (tidak usah beramal)? Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Tidak! tetaplah kalian beramal, karena masing-masing akan dimudahkan.” (HR. At-Tirmidzi)

“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertaqwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Aku kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah." (Al-Lail: 5-7)

Ketika muncul paham qadariyyah (penolak taqdir) di Bashrah yang dipelopori oleh Ma’bad Al-Juhani, maka Ibnu 'Umar mentahdzirnya (memperingatkan umat dari bahaya kesesatannya) dengan berkata:ِ

"Jika engkau berjumpa dengan mereka (qadariyyah) sampaikanlah bahwa aku telah berlepas diri dari mereka dan mereka telah berlepas diri dariku. Demi Dzat yang Abdullah bin 'Umar bersumpah dengan-Nya, andaikan saja salah seorang dari mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud lalu ia infaqkan, sungguh Allah tidak akan menerimanya hingga ia beriman kepada taqdir." (Riwayat Ahmad, Muslim, Abu Dawud, At-Tirmdzi)

Fikri Abul Hasan

0 comments:

Posting Komentar