Selasa, 11 Agustus 2015

Wajib Mengikuti Dalil, Jangan Taqlid!

Taqlid secara bahasa pengertiannya adalah melilitkan sesuatu di leher layaknya tali kekang. Sedangkan secara syar’iyyah adalah mengikuti orang lain yang perkataannya bukan hujjah. (Al-Ushul min ‘Ilmil Ushul)

Hukum asal taqlid ini harom, sebagaimana yang Allah tegaskan dalam firman-Nya, “Dan janganlah kalian mengikuti sesuatu yang kalian tidak memiliki ilmu padanya, karena sesungguhnya pendengaran, pengelihatan dan akal pikiran akan dimintai oleh Allah pertanggungjawabannya.” (Al-Isro’: 36)

Akan tetapi larangan ini dapat keluar dari hukum asalnya manakala ada dalil lain yang menunjukkan kebolehannya. Seperti firman Allah, “Maka bertanyalah kalian kepada para ahlinya (Ulama), jika kalian tidak memiliki ilmu tentangnya.” (An-Nahl: 43)

Sebagian Ulama berkata, ayat ini menjadi dalil bahwa kalangan awam yang tidak memiliki kemampuan menggali kesimpulan hukum atau berdalil maka wajib baginya bertaqlid. Hendaklah ia merujuk kepada Ulama yang dikenal lebih mantap keilmuannya serta kewaroannya dalam masalah yang ia hadapi. Namun jika hal itu sama terjadi pada dua orang Ulama, maka ia dapat memilih fatwa atau pendapat salah satu dari keduanya.

Oleh sebab itu, Imam Ahmad apabila beliau ditanya tentang satu masalah yang belum diketahui dalilnya, maka beliau merujuk kepada gurunya yaitu Al-Imam Asy-Syafi’i, karena dia adalah seorang imam (Siyar A’lamin Nubala’). Padahal Imam Ahmad adalah salah seorang imam dari imam madzhab yang empat. Tentunya lebih wajar lagi bila yang melakukannya adalah kalangan awam.

Adapun yang dimaksud dalil adalah Al-Qur'an, As-Sunnah dan ijma' (kesepakatan para Ulama utamanya para Shohabat Nabi). Kewajiban mengikuti dalil ini adalah perkara yang telah disepakati oleh para Ulama dan dalil-dalilnya sangat gamblang.

Ibnu 'Abbas rodhiyallahu 'anhuma berkata: 

 يُوشكُ أن تَنزلَ عليكم حجارةٌ من السماء ، أقولُ قالَ رسولُ الله صلى الله عليه وسلم ، وتقولونَ  قالَ أبو بكرٍ وعمر 

"Hampir-hampir batu turun dari langit menghujani kalian, aku sampaikan Rosulullah bersabda, kalian malah menimpali Abu Bakr dan 'Umar berkata!" (Riwayat Ahmad no. 3121, Ibnu 'Abdil Barr dalam "Jami' Bayanil 'Ilmi wa Fadhlih" 2/196) 

Al-Imam Abu Hanifah (Wafat 150 H): 

 إذا قلت قولاً يخالف كتاب الله تعالى وخبر الرسول صلى الله عليه وسلم فاتركوا قولي 

“Jika aku berkata tentang suatu pendapat yang menyelisihi Al-Qur’an dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah pendapatku itu.” (Riwayat Al-Imam Al-Fullani dalam “Iqozhul Himam Ulil Abshor” hal. 50) 

Al-Imam Malik bin Anas (wafat 179 H):  

 إنما أنا بشر أخطئ وأصيب فانظروا في رأيي فكل ما وافق الكتاب والسنة فخذوه وكل ما لم يوافق الكتاب والسنة فاتركوه 

“Aku hanyalah seorang manusia yang bisa salah dan bisa benar, maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapatku yang mencocoki dalil Al-Qur’an was Sunnah, maka ambillah. Namun apabila menyelisihi dalil Al-Qur’an was Sunnah maka tinggalkanlah.” (Riwayat Ibnu ‘Abdil Barr dalam “Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih” 1/622, Ibnu Hazm dalam Ushulul Ahkam 6/149) 

Al-Imam Asy-Syafi’i (wafat 204 H): 

 كل ما قلت فكان عن النبي صلى الله عليه وسلم خلاف قولي مما يصح فحديث النبي أولى فلا تقلدوني 

“Setiap dari pendapatku, kemudian ada riwayat shohih dari Nabi menyelisihi pendapatku itu, maka hadits Nabi lebih pantas didahulukan. Janganlah kalian bertaqlid kepadaku.” (Riwayat Ibnu Abi Hatim dalam Adab Asy-Syafi’i hal. 93 & Ibnul Qoyyim dalam I’lamul Muwaqqi’in 4/45) 

Al-Imam Ahmad bin Hanbal (wafat 241 H):  

 لا تقلدني ولا تقلد مالكا ولا الشافعي ولا الأوزاعي ولا الثوري وخذ من حيث أخذوا

"Janganlah kalian taqlid kepadaku, jangan pula taqlid kepada Malik, Asy-Syafi’i, Al-Awza’i dan Ats-Tsawri, tetapi ambillah darimana mereka mengambilnya (yakni lihat dalilnya).” (Riwayat Al-Imam Al-Fullani dalam “Iqodzhul Himam Ulil Abshor” hal. 113) 

Maka beragama di dalam Islam haruslah berdasarkan dalil yang bersumber dari Al-Qur’an was Sunnah. Beragama seperti ini yang disebut dengan ittiba'. Sekalipun untuk memahami keduanya kita juga merujuk kepada bimbingan para Ulama. Bila ada Ulama yang berfatwa atau berpendapat menyelisihi dalil, pasti akan bangkit Ulama yang lainnya mengoreksi fatwa tersebut dengan landasan dalil yang disertai keterangan para Ulama pula. Jadi jangan takut untuk berkata, jika hadits itu shohih maka itulah madzhabku. 

Syaikh Al-'Allamah Muqbil bin Haadi Al-Wadi'i menasehatkan, "Sesungguhnya kita mencintai Ulama dengan kecintaan yang syar'i. Kita tidak taqlid dan tidak pula fanatik kepada perseorangan di antara mereka. Allah berfirman, "Ikutilah wahyu yang telah diturunkan kepada kalian dari Robb kalian. Dan janganlah kalian mengikuti pelindung-pelindung selain Allah. Amatlah sedikit apa yang kalian ingat." (Al-Ajwibatul 'Ilmiyyah 'alal As'ilah Al-Wushobiyyah) 

Maka ikutilah dalil bila telah nampak dalam suatu permasalahan, jangan taqlid. Begitu sikap ilmiyyah dalam beragama yang diajarkan Salafussholih kepada kita. 

Fikri Abul Hasan

0 comments:

Posting Komentar