Rabu, 08 Juli 2015

Ghibah yang Halal

Al-Hafidzh Ibnu Rojab Al-Hanbali berkata, “Ketahuilah, bahwa ghibah yaitu menyebut seseorang dengan apa yang tidak disukainya adalah perkara yang diharomkan oleh agama. Yaitu apabila niatnya semata-mata untuk mencela, mencari aib atau merendahkannya. Namun apabila di sana ada kemaslahatan bagi kaum Muslimin secara umum atau sebagiannya secara khusus dimana maksud dan tujuannya itu untuk suatu kemaslahatan, maka hal tersebut tidaklah diharomkan oleh agama bahkan termasuk sunnah.” (Al-Farqu bainan Nashihah wat Ta’yir hal. 9)

Al-Hafidzh Ibnu Katsir Asy-Syafii berkata, “Ghibah adalah perbuatan yang harom menurut kesepakatan para Ulama dan tidak diperbolehkan kecuali jika terdapat maslahat yang kuat seperti dalam ilmu al-jarh wat ta’dil (kritik dan pujian) atau dalam rangka nasehat.” (Tafsir Ibnu Katsir 4/215)

Perbuatan ghibah hukum asalnya adalah harom  sebagaimana firman Allah ta'ala:

ولا يغتب بعضكم بعضا أيحب أحدكم أن يأكل لحم أخيه ميتا فكرهتموه واتقوا الله إن الله تواب رحيم


"Dan janganlah sebagian kalian mengghibahi sebagian yang lain, sukakah salah seorang dari kalian memakan daging saudaranya yang telah mati pasti kalian tidak menyukainya, maka bertaqwalah kalian kepada Allah, sungguh Allah Maha Menerima taubat dan Maha Pengasih." (Al-Hujurot: 12)

Akan tetapi hukum asal itu bisa beralih kepada hukum mubah atau bahkan wajib apabila dilandasi dalil-dalil syar’i dan pertimbangan maslahat yang kuat. Seperti perbuatan Hindun isteri Abu Sufyan yang mengadu kepada Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam perihal suaminya yang pelit (Al-Bukhori 3564), beliau tidak menegur Hindun saat mengghibahi suaminya bahkan beliau membolehkan mengambil harta suaminya sekedar mencukupi kebutuhan dirinya dan anaknya.

Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafii menjelaskan, “Ketahuilah, ghibah diperbolehkan bila didasari tujuan yang benar dan syar’i. Yakni mustahil sampai kepada tujuan yang benar dan syar’i melainkan dengan mengghibahinya di antaranya ada enam sebab:

1. Mengadukan kezaliman kepada pihak-pihak yang mempunyai wewenang dan kekuatan.
2. Meminta bantuan untuk mengubah kemungkaran.
3. Meminta fatwa.
4. Tahdzir (memperingatkan) kaum muslimin dari kejelekan, bahaya penyimpangan maupun kesesatan.
5. Seseorang yang terang-terangan menampakan kefasikan, kebid’ahan, atau kemungkaran.
6. Mengenal seseorang dengan julukan tertentu seperti orang yang sudah dikenal dengan julukan al-amasy (si picek). (Riyadhussholihin min Kalam Sayyidil Mursalin hal. 510 secara ringkas)
_____________

Fikri Abul Hasan

0 comments:

Posting Komentar