Jumat, 31 Agustus 2018

Ghibah yang Halal

Ghibah artinya engkau menyebutkan aib saudaramu yang yang tidak disukai dirinya. Perbuatan ghibah ini jelas keharomannya dan ancamannya berat, namun ada kondisi-kondisi dimana ghibah diperbolehkan hal ini telah dijelaskan oleh para Ulama.

Al-Hafidzh Ibnu Rojab Al-Hanbali berkata, “Ketahuilah, bahwa ghibah yaitu menyebut seseorang dengan hal yang tidak disukainya adalah perkara yang diharomkan agama apabila niatnya semata-mata untuk mencela, mencari aib atau merendahkannya. 

Namun apabila ada kemaslahatan bagi kaum muslimin secara umum atau sebagiannya secara khusus, dimana maksud dan tujuannya itu untuk suatu kemaslahatan maka hal tersebut tidaklah diharomkan oleh agama bahkan termasuk sunnah.” (Al-Farqu bainan Nashihah wat Ta’yir hal. 9)

Al-Hafidzh Ibnu Katsir Asy-Syafii berkata, “Ghibah adalah perbuatan yang harom menurut kesepakatan Ulama dan tidak diperbolehkan kecuali jika ada maslahat yang kuat seperti dalam ilmu al-jarh wat ta’dil (kritik dan pujian) atau dalam rangka nasihat.” (Tafsir Ibnu Katsir 4/215) 

Dalilnya antara lain perbuatan Hindun isteri Abu Sufyan yang mengadu kepada Rosulullah ﷺ perihal suaminya yang bakhil (Al-Bukhori 3564). 

Rosulullah ﷺ tidak menegur Hindun yang mengghibahi suaminya, bahkan beliau ﷺ mengizinkan dirinya mengambil harta suaminya sekedar mencukupi kebutuhan dirinya dan anaknya.

Dan masih banyak lagi dalil lain yang menunjukkan haromnya ghibah sebagai hukum asal dapat beralih kepada hukum lain yaitu mubah atau bahkan wajib bila ada kemaslahatan yang besar atau untuk mencegah mudhorot. 

Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafii menyebutkan ada beberapa sebab diperbolehkannya menyebut kejelekan orang selama tujuannya bukan untuk merendahkan. Beliau berkata:

“Ketahuilah, ghibah diperbolehkan bila tujuannya benar dan syar’i. Yakni tidak sampai kepada tujuan yang benar itu melainkan dengan mengghibahinya. Di antaranya ada enam sebab:

(1). Mengadukan kezaliman kepada pihak-pihak yang mempunyai wewenang dan kekuatan.

(2). Meminta bantuan untuk mengubah kemungkaran.

(3). Meminta fatwa.

(4). Tahdzir (memperingatkan) kaum muslimin dari kejelekan, bahaya penyimpangan maupun kesesatan.

(5). Seseorang yang terang-terangan menampakan kefasikan, kebid’ahan, atau kemungkaran.

(6). Mengenal seseorang dengan julukan tertentu seperti orang yang sudah dikenal dengan julukan al-a'masy (pengelihatannya kurang)." (Riyadhus Sholihin hal. 510 secara ringkas)

Demikian enam kondisi diperbolehkannya ghibah. Namun perlu diingat bahwa hal itu dilakukan untuk tujuan kemaslahatan bukan mengorek-orek aib atau menjatuhkan kehormatan.

Fikri Abul Hasan

0 comments:

Posting Komentar