Sabtu, 21 Juli 2018

Kafir Tanpa Sadar

Al-Qodhi ‘Iyadh dalam “Asy-Syifa’ bi Ta’rif Huquqil Musthofa” dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam “Ash-Shorimul Maslul ‘ala Syatimir Rosul” menukil ijma’ (kesepakatan) para Ulama bahwa kafirnya orang yang menghina Allah, agama-Nya, dan Rosul-Nya, sedang pelakunya tidak diberi 'udzur (toleransi) lantaran kejahilannya atau alasan bercanda. Allah berfirman:

قل أبالله وآياته ورسوله كنتم تستهزئون لا تعتذروا قد كفرتم بعد إيمانكم

“Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rosul-Nya kalian mengolok-olok, tidak usah kalian minta maaf, karena kalian telah kafir setelah beriman.” (At-Taubah: 65-66)

Para ahli tafsir berkata, ayat ini turun terkait dengan candaan orang-orang munafik yang mengejek Nabi shollallahu 'alaihi wasallam dan kaum mukminin saat peristiwa perang Tabuk. Mereka katakan tidak ada yang lebih buncit perutnya, lebih dusta lisannya dan lebih pengecut dalam berperang melebihi para ahli Qur'an. Maka Nabi shollallahu 'alaihi wasallam tidak memberi 'udzur (toleransi) atas candaan mereka meski mereka telah meminta maaf.

Dengan demikian, pelakunya dituntut bertaubat kepada Allah dengan meninggalkan kekafirannya dan memperbaharui keislamannya. Karena pokok agama ini dibangun di atas pengagungan terhadap Allah, pengagungan terhadap agama-Nya dan rosul-rosul-Nya. 

Tidak mungkin ada seorang muslim menjadikan agamanya sebagai bahan olokan dan hinaan karena dalam sholatnya sehari semalam mengakui Allah dengan segala pujian:

الحمد لله رب العالمين

“Segala puji bagi Allah Robb semesta alam.”

___________

Fikri Abul Hasan

0 comments:

Posting Komentar