Kamis, 31 Agustus 2017

Qurban Bukan Soal Daging & Darah

Allah berfirman:

لن ينال الله لحومها ولا دماؤها ولكن يناله التقوى منكم

“Daging-daging (hewan qurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, akan tetapi yang sampai kepada-Nya ialah ketaqwaan kamu.” (Al-Hajj: 37)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:

فالمقصود تقوى القلوب لله وهو عبادتها له وحده دون ما سواه . بغاية العبودية له والعبودية فيها غاية المحبة وغاية الذل والإخلاص وهذه ملة إبراهيم الخليل . وهذا كله مما يبين أن عبادة القلوب هي الأصل كما قال النبي صلى الله عليه وسلم { إن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله وإذا فسدت فسد الجسد كله ألا وهي القلب } والنية والقصد هما عمل القلب فلا بد في المتابعة للرسول صلى الله عليه وسلم من اعتبار النية والقصد

“Maka tujuannya adalah ketaqwaan hati yakni amal ibadahnya hanya ditujukan untuk Allah semata, bukan untuk selain-Nya; dengan setinggi-tinggi penghambaan diri kepada-Nya. Dalam penghambaannya terkandung setinggi-tinggi mahabbah (kecintaan) dan menghinakan diri di hadapan Allah serta keikhlasan. Inilah ajaran yang dipelopori nabiyullah Ibrohim Al-Kholil ‘alaihissalam. Semua ini menjelaskan bahwa ibadahnya hati merupakan perkara yang paling asasi. Sebagaimana sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam, “Sesungguhnya dalam jasad itu ada segumpal daging, jika ia baik maka akan menjadi baik seluruh tubuh, namun jika ia rusak maka akan rusak pula seluruh tubuh. Ketahuilah segumpal daging itu adalah jantung (hati).” Niat dan tujuan merupakan amalan hati yang harus diiringi dengan semangat mutaba’ah (mengikuti) Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam dalam mewujudkan keduanya.” (Majmu’ Fatawa 17/485)

Al-Hafidzh Ibnu Katsir Al-Qurosyi Asy-Syafi’i berkata:

قال ابن أبي حاتم: حدثنا علي بن الحسين، حدثنا محمد بن أبي حماد، حدثنا إبراهيم بن المختار، عن ابن جريج قال: كان أهل الجاهلية ينضحون البيت بلحوم الإبل ودمائها، فقال أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم: فنحن أحق أن ننضح، فأنزل الله: { لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ }

“Ibnu Abi Hatim berkata, telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Al-Husain, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abi Hammad, telah menceritakan kepada kami Ibrohim bin Al-Mukhtar, dari Ibnu Juraij, ia berkata, dahulu orang-orang jahiliyah melumuri Ka’bah dengan daging-daging dan darah-darah unta, lantas para Shohabat mengatakan, “Kami lebih pantas melakukan itu daripada mereka, maka Allah menurunkan ayat, ”Daging-daging (hewan qurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, akan tetapi yang sampai kepada-Nya ialah ketaqwaan kamu.” (Tafsir Ibnu Katsir 5/431)

Syaikh Al-'Allamah Abdurrohman bin Nashir As-Sa’di berkata:

ليس المقصود منها ذبحها فقط. ولا ينال الله من لحومها ولا دمائها شيء، لكونه الغني الحميد، وإنما يناله الإخلاص فيها، والاحتساب، والنية الصالحة، ولهذا قال: { وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ } ففي هذا حث وترغيب على الإخلاص في النحر، وأن يكون القصد وجه الله وحده، لا فخرا ولا رياء، ولا سمعة، ولا مجرد عادة، وهكذا سائر العبادات، إن لم يقترن بها الإخلاص وتقوى الله، كانت كالقشور الذي لا لب فيه، والجسد الذي لا روح فيه

“Bukanlah yang dimaksud dalam ayat tersebut hanya sekedar menyembelih hewan qurban semata. Daging-daging qurban dan darah-darah yang mengalir itu tidak akan sampai kepada Allah sedikitpun karena Dia mahakaya lagi mahaterpuji. Akan tetapi yang sampai kepada Allah hanyalah niat yang ikhlas dalam menyembelih, ihtisab (mengharap pahala) serta kesholihan hati. Oleh sebab itu Allah mengatakan, “Akan tetapi yang sampai kepada-Nya itu ialah ketaqwaan kamu”. Dalam ayat ini terkandung motivasi ikhlas dalam berqurban. Yakni mengharapkan Wajah Allah semata dari amal ibadahnya. Bukan untuk kesombongan, riya’, sum’ah atau sebagai rutinitas belaka yang dilakukan setiap tahun. Begitu pula segenap amalan ibadah, bila tidak disertai niat yang ikhlas padanya dan taqwallah maka keadaannya seperti kulit tanpa isi atau jasad tanpa ruh.” (Taisirul Karimirrohman fi Tafsir Kalamil Mannan 1/538)

Fikri Abul Hasan

Selasa, 29 Agustus 2017

Masjid Dhiror Jangan Salah Kaprah!

Mohon dijelaskan ustadz apa yang dimaksud dengan masjid dhirar? Apakah setiap masjid yang memecah belah barisan kaum Muslimin termasuk masjid dhirar?

Jawab: Masjid dhiror adalah masjid yang dibangun untuk tujuan yang batil. Allah berfirman:

والذين اتخذوا مسجدا ضرارا وكفرا وتفريقا بين المؤمنين 

"Dan (di antara orang-orang munafiq itu) ada yang mendirikan masjid yang bertujuan untuk membikin kemudhorotan (gangguan bagi kaum Mukminin), kekufuran dan memecah belah antara orang-orang yang beriman." (At-Taubah :107)

Ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang munafiq yang membangun masjid dengan tujuan yang rusak. Mereka beramah tamah mendatangi Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam dan memohon agar beliau berkenan sholat di dalamnya. Namun tak lama kemudian Allah memberitakan kepada Rosul-Nya tentang isi hati orang-orang munafiq tersebut dimana mereka melakukan semua itu sesungguhnya untuk membikin kemudhorotan bagi kaum Mukminin, karena kebencian mereka, serta kekufuran mereka terhadap Allah dan Rosul-Nya. Kisah ini disebutkan oleh Al-Hafidzh Ibnu Katsir dalam tafsirnya.

Maka yang dimaksud masjid dhiror adalah masjid yang dibangun dengan tujuan yang jelek untuk menimpakan kemudhorotan bagi kaum Mukminin, kekufuran, serta membikin perpecahan di antara umat Islam.

Adapun memisahkan antara al-haq dan al-batil, antara tauhid dan syirik, antara sunnah dan bid'ah, antara ahlul haq dan ahlul batil, maka ini adalah kewajiban dakwah yang diajarkan oleh Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam dan para Shohabatnya. Karena terjadinya perpecahan di antara umat Islam faktor utamanya adalah membiarkan kekufuran, kesyirikan, kebid'ahan sebagaimana yang telah diperingatkan oleh Nabi shollallahu 'alaihi wasallam:

فإنه من يعش منكم فسيري اختلافا كثيرا فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين عضوا عليها بالنواجذ وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل بدعة ضلالة

"Barangsiapa yang masih hidup sepeninggalku dia akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Khulafa’ur Rosyidin Al-Mahdiyyin sepeninggalku (ketika mendapati perselisihan itu), gigitlah ia (sunnah-sunnah itu) dengan gigi-gigi gerahammu. Dan berhati-hatilah kalian dari perkara baru yang diada-adakan dalam beragama karena setiap bid'ah itu sesat.” (HR. Abu Dawud 4607, At-Tirmidzi 2676 beliau berkata, “Hadits Hasan Shohih”, Syaikh Al-Albani menshohihkannya dalam "Shohihul Jami’" 2546)

Maka siapa saja yang menyelisihi cara beragama Nabi shollallahu 'alaihi wasallam dan cara beragama para Shohabat beliau baik dalam hal aqidah, ibadah, akhlaq, jihad, siyasah, amar ma'ruf nahi munkar, maka dialah yang sebetulnya menjadi biang utama perpecahan umat meski dirinya lantang menyuarakan persatuan.
___________

Fikri Abul Hasan

Senin, 28 Agustus 2017

Keutamaan Puasa 'Arofah

Dari Abu Qotadah rodhiyallahu ‘anhu, Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang puasa hari ‘Arofah, beliau bersabda:

يكفر السنة الماضية والباقية

"(Puasa ‘Arofah itu) menggugurkan dosa-dosa setahun sebelumnya dan setelahnya.” (HR. Muslim 1162)

Hari 'Arofah termasuk hari yang dianjurkan berpuasa bagi yang tidak wuquf di 'Arofah, keutamaannya menggugurkan dosa-dosa selama dua tahun. Adapun dosa-dosa yang dimaksud hanyalah dosa-dosa kecil sebagaimana yang ditegaskan oleh Al-Imam An-Nawawi dalam "Syarh Shohih Muslim" 8/50.

Fikri Abul Hasan

Rabu, 23 Agustus 2017

Benarkah Hadits yang Menganjurkan Puasa Tanggal 1 sampai 9 Dzulhijjah Berstatus Dho'if?

Ustadz apakah benar riwayat-riwayat yang menganjurkan puasa tanggal 1 sampai 9 Dzulhijjah berkisar dho'if tidak bisa dijadikan hujjah? Contohnya seperti riwayat berikut, "Tidak ada hari yang lebih dicintai Allah untuk beribadah padanya daripada 10 hari Dzulhijjah. Saum setiap hari padanya sebanding dengan shaum setahun. Dan qiyamul lail setiap malam padanya sebanding dengan qiyam lailatul qadr.” HR. At-Tirmidzi, Al-Baghawi, dan al-Baihaqi? Mohon penjelasannya jazakumullah khoir.

Jawab: Terkait amalan puasa di bulan Dzulhijjah banyak beredar broadcast yang menyebutkan tidak dianjurkannya puasa tanggal 1 sampai tanggal 9 lantaran hadits-haditsnya dho'if (lemah) dan yang shohih hanya puasa 'Arofah di tanggal 9 saja. Riwayat dho'if yang dimaksud sebagai berikut:

 ما من أيام أحب إلى الله أن يتعبد له فيها من عشر ذي الحجة يعدل صيام كل يوم منها بصيام سنة وقيام كل ليلة منها بقيام ليلة القدر

"Tidaklah ada hari yang lebih dicintai Allah untuk beribadah di dalamnya daripada 10 hari Dzulhijjah. Sehari puasa di dalamnya sebanding dengan puasa setahun penuh dan qiyamul lail setiap malamnya sebanding dengan qiyamul lail di malam lailatul qodr.”

Hadits ini dikeluarkan oleh At-Tirmidzi 758, Ibnu Majah 1728, Al-Bazzar 7816. Sanad hadits ini didho'ifkan oleh para Ulama karena ada rowi dho'if bernama Nahhas bin Qohm dan Mas'ud bin Washil.

Al-Imam At-Tirmidzi sendiri berkata, "Hadits ini ghorib!". Al-Hafidzh Ibnu Hajar Al-'Asqolani berkata, "Sanadnya dho'if!" dalam Fat-hul Bari 2/534. Syaikh Al-'Allamah Al-Albani mendho'ifkannya dalam "Silsilah Adh-Dho'ifah 5142.

Akan tetapi di sana ada riwayat-riwayat shohih yang menganjurkan puasa tanggal 1 sampai 9 Dzulhijjah. Antara lain riwayat Ibnu Abbas rodhiyallahu 'anhuma, bahwa Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda:

ما من أيام العمل الصالح فيها أحب إلى الله من هذه الأيام يعني أيام العشر قالوا يا رسول الله ولا الجهاد في سبيل الله ؟ قال: ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجل خرج بنفسه وماله فلم يرجع من ذلك بشيء

“Tidaklah ada hari-hari dimana amalan sholih lebih dicintai Allah daripada hari-hari ini (yakni sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah).” Para Shohabat bertanya, “Wahai Rosulullah, tidak pula jihad di jalan Allah?" Beliau berkata, “Tidak pula jihad di jalan Allah! Kecuali orang yang keluar berperang dengan jiwanya dan hartanya kemudian dia tidak kembali pulang.” (HR. Al-Bukhori 969, Abu Dawud 2438, At-Tirmidzi 757)

Juga riwayat Hunaidah bin Kholid, dari isterinya berkata, sebagian isteri Nabi menceritakan bahwa Nabi shollallahu 'alaihi wasallam:

كان يصوم يوم عاشوراء و تسعا من ذي الحجة وثلاثة أيام من الشهر أو الإثنين من الشهر وخميسين

"Dahulu berpuasa pada hari 'Asyuro (10 Muharrom), sembilan hari awal Dzulhijjah, tiga hari setiap bulan, dan puasa senin kamis." (HR. Ahmad 22388, Abu Dawud 2437, An-Nasa'i 2681 & 2725, dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani "Shohih Sunan Abi Dawud" 2437)

Riwayat ini dalil yang shorih (tegas) dianjurkannya berpuasa sembilan hari di permulaan bulan Dzulhijjah. Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) Ulama sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Al-'Allamah Abdurrohman bin Qosim dalam "Hasyiah Ar-Roudhil Murbi'".
____________

Fikri Abul Hasan

Jumat, 18 Agustus 2017

Faidah Hadits Handzholah Al-Usayyidi

Tatkala Handzholah Al-Usayyidi merasa dalam dirinya ada kemunafikan dan mengeluhkannya kepada Abu Bakr maka bertolaklah keduanya mendatangi Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam. Handzholah berkata:

فانطلقت أنا وأبو بكر حتى دخلنا على رسول الله صلى الله عليه وسلم، قلت: نافق حنظلة يا رسول الله، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : "وما ذاك؟." قلت: يا رسول الله نكون عندك تذكرنا بالنار والجنة، حتى كأنا رأي عين، فإذا خرجنا من عندك عافسنا الأزواج والأولاد والضيعات نسينا كثيراً، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: " والذي نفسي بيده؛ إن لو تدومون على ما تكونون عندي وفي الذكر لصافحتكم الملائكة على فرشكم، وفي طرقكم، ولكن يا حنظلة ساعة وساعة ثلاث مرات

"Maka aku dan Abu Bakr pergi mendatangi Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam dan masuk menemui beliau. Aku berkata kepada beliau, "Handzholah telah menjadi munafik wahai Rosulullah!”, maka Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam bertanya, “Ada apa denganmu?” Aku menjawab, “Wahai Rosulullah, ketika kami berada di sisimu dan engkau mengingatkan kami tentang neraka dan surga maka seakan-akan semua itu terlihat di pelupuk mata kami, namun setelah kami keluar meninggalkanmu, maka kami tersibukkan dengan isteri-isteri dan anak-anak serta pekerjaan sehingga membuat kami lupa banyak hal”. Maka Rosulullah shollallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di Tangan-Nya, andaikata kalian senantiasa berada dalam keadaan seperti saat bersamaku dan senantiasa berdzikir niscaya para malaikat akan memberi salam kepada kalian di atas tempat tidur kalian dan di jalan-jalan kalian. Akan tetapi wahai Hanzholah, "Ada saatnya begini dan ada saatnya begitu", beliau mengucapkannya tiga kali." (HR. Muslim 2750)

Riwayat ini menunjukkan jujurnya Handzholah dalam keimanan dan tawadhunya beliau sehingga menyadari banyaknya kekurangan dalam menjalani ketaatan dan merasa telah berbuat kemunafikan. Dan keadaan para Shohabat Nabi umumnya memang demikian seperti yang disebutkan oleh Ibnu Abi Mulaikah:

أدركت من ثلاثين أصحاب النبي كلهم يخاف النفاق على نفسه

"Aku telah menjumpai tigapuluh orang Shohabat Nabi, mereka semua mengkhawatirkan dirinya tertimpa kemunafikan.” (Riwayat Al-Bukhori 36)

Lalu apakah riwayat Handzholah ini menunjukkan para Shohabat bermalas-malas dalam ibadah yang wajib dan bermudah-mudahan melakukan yang mungkar?

Jawabannya tidak demikian, bahkan itu termasuk kekeliruan dalam memahami hadits Handzholah tersebut. Karena perkara yang diwajibkan oleh syariat hukumnya wajib ditunaikan sesuai kemampuan, sedang Allah Mahatahu kemampuan masing-masing hamba-Nya, seperti sholat, maka sholat diwajibkan berdiri, bila tidak mampu maka duduk, bila tidak mampu maka dengan berbaring. Begitupula dengan larangan, apa saja yang dilarang oleh syariat maka wajib ditinggalkan.

Adapun makna perkataan Handzholah "sehingga membuat kami lupa banyak hal", dijelaskan oleh Al-Imam Ath-Thibi:

أي كثيرا مما ذكرتنا به

"Maksudnya banyak lupa dari apa yang telah Nabi shollallahu 'alaihi wasallam peringatkan kami dengannya." (Syarh Shohih Muslim An-Nawawi 17/66)

Yaitu peringatan-peringatan tentang surga dan neraka tidak hadir diingatannya setelah berjumpa dengan isteri, anak-anak atau ketika sedang bekerja. Maka Nabi shollallahu 'alaihi wasallam ingatkan tentang keutamaan mendawamkan dzikir akan tetapi tidak tercela bersenang-senang dengan isteri, anak-anak, atau menyisihkan waktu untuk bekerja. Semua itu tidaklah tergolong kemunafikan. Hanyalah yang tercela bila isteri, anak-anak atau pekerjaannya melalaikan seseorang dari kewajiban.

Syaikh Al-'Allamah Al-'Utsaimin menjelaskan maksud perkataan Nabi shollallahu 'alaihi wasallam, "Ada saatnya begini, ada saatnya begitu":

يعني ساعة للرب عز وجل ، وساعة مع الأهل والأولاد ، وساعة للنفس حتى يعطي الإنسان لنفسه راحتها

"Yakni ada saatnya menyibukkan diri untuk beribadah kepada Allah 'azza wa jalla, ada saatnya meluangkan waktu bersama isteri dan anak-anak, dan ada saatnya waktu untuk menyendiri sehinggas seseorang dapat memenuhi hak dirinya untuk beristirahat." (Syarh Riyadhissholihin 2/235)

Riwayat Handzholah di atas juga mengajak kita untuk banyak-banyak bermuhasabah (evaluasi diri), berupaya menambah keimanan dengan ketaatan, dan merujuk kepada para ahlul ilmi tatkala menghadapi persoalan.
_____________

Fikri Abul Hasan

Telegram Channel
https://t.me/manhajulhaq

Selasa, 15 Agustus 2017

Beragama dengan Hawa Nafsu

Allah berfirman:

أفرأيت من اتخذ إلهه هواه و أضله الله على علم 

"Maka pernahkah engkau melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahannya dan Allah membiarkannya sesat di atas ilmu." (Al-Jatsiyah: 23)

Al-Imam Ibnu Jarir Ath-Thobari menjelaskan, bahwa sebagian Ulama berkata:

أفرأيت من اتخذ دينه بهواه ، فلا يهوى شيئا إلا ركبه ، لأنه لا يؤمن بالله ، ولا يحرم ما حرم ، ولا يحلل ما حلل ، إنما دينه ما هويته نفسه يعمل به

"Maka pernahkah engkau melihat orang yang mengambil agamanya dengan hawa nafsunya? Tidaklah dia menyukai sesuatu kecuali dia ambil sebagai agamanya, karena sesungguhnya dia tidak beriman kepada Allah dengan benar, tidak mengharomkan apa yang diharomkan Allah dan tidak menghalalkan apa yang dihalalkan oleh-Nya, hanyalah yang menjadi agamanya apa yang sesuai selera hawa nafsunya lalu dia beramal dengannya." (Jami'ul Bayan Fi Ta'wilil Qur'an 22/76)

Al-Hafidzh Ibnu Katsir berkata: 

إنما يأتمر بهواه ، فمهما رآه حسنا فعله ، ومهما رآه قبيحا تركه 

"Maknanya sesungguhnya dia hanya diperintahkan oleh hawa nafsunya, maka apa saja yang dipandang baik oleh hawa nafsunya maka dia kerjakan, dan apa saja yang dipandang buruk oleh hawa nafsunya maka dia tinggalkan." (Tafsirul Qur'anil 'Adzhim 7/269)

Yakni beragama sesuka hatinya, bukan untuk menjalankan ketaatan kepada Allah dan Rosul-Nya shollallahu 'alaihi wasallam. Apa yang disuka oleh dirinya meskipun harom maka dia halalkan, apa yang dibenci oleh dirinya meskipun halal maka dia haromkan. Hawa nafsu akal dan perasaannya yang menjadi timbangan dia dalam beragama, bukan dalil Al-Qur'an was Sunnah. Sehingga Allah biarkan dirinya sesat meski seribu hujjah telah tegak.

Para Ulama menjelaskan, orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya dalam beragama keadaannya berbeda-beda. Ada yang terjatuh dalam maksiat dosa besar, adapula yang sampai derajat kesyirikan dan kekufuran.

Ayat di atas juga sebagai hujjah yang membantah orang-orang yang mengandalkan logika dalam beragama seperti kelompok mu'tazilah, maupun orang-orang yang mengandalkan perasaan seperti kelompok tarekat Shufiyah. 

Maka dari sini kita mengetahui bahwa inti ajaran Islam adalah tauhid, yaitu menghambakan diri hanya kepada Allah semata dengan mengikuti sunnah (cara beragama) Nabi-Nya shollallahu 'alaihi wasallam sebagaimana yang diteladani oleh para Shohabatnya.

Fikri Abul Hasan

Telegram Channel
https://t.me/manhajulhaq

Minggu, 13 Agustus 2017

Laki-Laki Pemimpin Wanita

Di antara sebab paling utama terwujudnya rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rohmah adalah suami isteri saling menjalankan kewajibannya masing-masing dalam menegakkan hukum Allah. Suami memposisikan dirinya sebagai pemimpin dalam rumah tangga yang bertanggungjawab mencari nafkah dan mendidik keluarga. Sedangkan isteri memposisikan dirinya sebagai orang yang dipimpin oleh suaminya, mengurus anak, melayani suami dan kebutuhan yang lainnya.

Allah berfirman:

الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض وبما أنفقوا من أموالهم فالصالحات قانتات حافظات للغيب بما حفظ الله 

"Kaum laki-laki adalah pemimpin atas kaum wanita dengan apa yang telah Allah lebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan oleh karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Maka wanita-wanita yang sholihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri tatkala suaminya tidak ada, oleh karena itulah Allah telah memelihara mereka." (An-Nisa’: 34)

Al-Hafidzh Ibnu Katsir menjelaskan:

الرجل قيم على المرأة ، أي هو رئيسها وكبيرها والحاكم عليها ومؤدبها إذا اعوجت 

"Lelaki itu adalah pihak yang mengurus wanita, yakni pemimpinnya, kepalanya, hakimnya, dan yang mendidiknya bila menyimpang." ('Umdatut Tafsir 1/499 - Syaikh Al-'Allamah Ahmad Syakir)

Syaikh Al-'Allamah As-Sa'di berkata:

قوامون عليهن بإلزامهن بحقوق الله تعالى، من المحافظة على فرائضه وكفهن عن المفاسد

"Lelaki adalah pemimpin atas kaum wanita dengan mewajibkan mereka untuk menunaikan hak-hak Allah ta'ala, memelihara kewajiban-kewajiban yang Allah tetapkan, dan mencegahnya dari berbagai kerusakan." (Taisirul Karimirrohman hal. 177)

Sebaliknya, sebab paling utama percekcokan dan problem yang menimpa rumah tangga umumnya lantaran suami isteri mengabaikan kewajibannya. Isteri memposisikan diri sebagai suami, suami bertindak sebagai isteri, atau bahkan suami isteri sama-sama sibuk mencari nafkah di luar rumah sedang anaknya dididik oleh siaran tivi.

Maka sebagai suami sudah semestinya dia wajib bertanggungjawab menjaga keluarganya dari ancaman api neraka. Allah berfirman, "Jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka."

Sedangkan isteri wajib menjalankan kewajibannya di dalam rumah dan mengedepankan ketaatan kepada suami sebagaimana sabda Nabi shollallahu 'alaihi wasallam kepada seorang wanita, "Perhatikanlah dimana kedudukan engkau bersama suamimu, sebab dia adalah surgamu dan nerakamu.” (HR. Ahmad 19025 dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam "Shohih At-Targhib" 1933)

Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata:

طاعة زوجها أوجب عليها من أمها إلا أن يأذن لها 

"Menaati suaminya lebih wajib atas dirinya ketimbang ibunya kecuali jika suaminya memberi izin kepadanya." (Syarh Muntaha Al-Irodat 3/47)

Maka bila suami isteri saling berusaha menjalankan kewajibannya niscaya Allah akan mudahkan segala urusan dunianya dan menjauhkan rumah tangganya dari segala petaka.

Fikri Abul Hasan

Telegram Channel
https://t.me/manhajulhaq

Sabtu, 12 Agustus 2017

Bahaya Tanya Dukun & Paranormal

Rosulullah ﷺ mengingatkan:

من أتى عرافا فسأله لم تقبل له صلاة أربعين يوما

“Barangsiapa mendatangi dukun lalu bertanya kepadanya tentang sesuatu maka tidak diterima sholatnya selama 40 hari." (HR. Muslim 2230)

Meski sholatnya tidak diterima, akan tetapi kewajiban sholat tidak gugur atas dirinya. Pelakunya tetap berkewajiban menjalankan sholat 5 waktu. Demikian yang dijelaskan oleh para ulama.

Rosulullah ﷺ juga mengingatkan:

 من أتى كاهنا فصدقه بما يقول فقد كفر بما أنزل على محمد

"Barangsiapa mendatangi dukun lalu mempercayai apa yang dikatakannya maka ia telah kufur terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad." (HR. At-Tirmidzi 135 dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam "Irwa'ul Gholil" 6817)

Syaikh Al-'Allamah Al-Utsaimin menyebutkan, "Orang yang mendatangi dukun dan paranormal di antara tiga keadaan:

(1). Mendatanginya untuk bertanya dan membenarkan ucapannya maka ini perbuatan kufur. Berarti dia mengklaim ada pihak-pihak selain Allah yang mengetahui perkara ghoib.

(2). Mendatanginya untuk bertanya tetapi tidak mempercayai ucapannya maka ini perbuatan yang harom, sholatnya tidak diterima selama 40 hari.

(3). Mendatanginya untuk menyingkap kebohongannya dan memberinya pelajaran maka ini diperbolehkan." (Fatawa Arkanil Islam no. 75)

Fikri Abul Hasan

Selasa, 08 Agustus 2017

Benarkah Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab Suka Mengkafirkan Kaum Muslimin?

Persoalan takfir (memvonis kafir) adalah hak Allah dan Rosul-Nya shollallahu 'alaihi wasallam. Hukumnya kembali kepada dalil-dalil Al-Qur'an was Sunnah. Sebab itu tidak seorangpun dari kaum Muslimin boleh divonis kafir kecuali setelah ada dalil yang membuktikan kekafirannya. Nabi shollallahu 'alaihi wasallam bersabda: 

أيما رجل قال لأخيه يا كافر فقد باء بها أحدهما إن كان كما قال وإلا رجعت عليه

"Siapa yang berkata kepada saudaranya, "Wahai kafir”, maka akan terkena salah satunya. Jika ucapannya itu benar maka benar, dan jika tidak, maka akan kembali kepada yang mengucapkannya." (HR. Al-Bukhori dan Muslim)

Selain itu, pengkafiran juga memiliki syarat-syarat yang harus diperhatikan serta terangkatnya penghalang-penghalang sebelum vonis dijatuhkan. Syaratnya antara lain bahwa si pelaku menyadari atas perkataan atau perbuatan kufur yang dilakukan. Sedangkan yang dimaksud dengan penghalang adalah kejahilan yakni pelakunya betul-betul tidak mengetahui bahwa perbuatannya itu adalah kekufuran.

Di sinilah poin utama yang membedakan manhaj Ahlussunnah dengan manhaj Khowarij dan Murji'ah dalam masalah takfir. Manhaj Ahlussunnah pertengahan tidak ifroth (melampaui batas) seperti kaum Khowarij, dan tidak tafrith (bermudah-mudahan) seperti kaum Murji'ah. Manhaj pertengahan inilah yang diikuti oleh Syaikhul Islam Muhammad bin Abdil Wahhab yang acapkali dilabeli dengan istilah "Wahhabi". Kendati demikian, masih saja beliau diklaim sebagai sosok yang gampang mengkafirkan atau terpengaruh oleh pemikiran Khowarij.

Berikut kami bawakan perkataan Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab yang sesungguhnya agar para pembaca mengetahui bahwa beliau adalah orang yang sangat hati-hati. Beliau berkata:

ولا نكفِّر إلا ما أجمع عليه العلماء كلهم، وهو الشهادتان ، وأيضاً نكفِّره بعد التعريف ، إذا عرف وأنكر

"Dan tidaklah kami memvonis kafir kecuali dalam perkara yang telah disepakati oleh para Ulama seluruhnya, yaitu dua kalimat syahadat. Dan juga kami memvonis kafir setelah memberikan penjelasan yakni apabila dia telah mengetahui namun tetap mengingkarinya." (Ad-Durorus Saniyyah 1/102)

Perkataan beliau di atas terkait rukun Islam yang lima. Para Ulama berselisih pendapat tentang kafirnya orang yang meninggalkan empat rukun (sholat, zakat, puasa, haji) lantaran malas meski tetap diyakini kewajibannya. Akan tetapi dalam hal dua kalimat syahadat, para Ulama telah berijma' (bersepakat), bahwa orang yang meninggalkannya akan menjerumuskan dirinya ke dalam kekafiran. Dua kalimat syahadat yaitu syahadat tauhid yang lawannya adalah kesyirikan, dan syahadat tho'ah yang lawannya adalah kebid'ahan.

Beliau juga berkata:

ومسألة تكفير المعين مسألة معروفة، إذا قال قولا يكون القول به كفرا، فيقال: من قال بهذا القول فهو كافر، لكن الشخص المعين، إذا قال ذلك لا يحكم بكفره، حتى تقوم عليه الحجة التي يكفر تاركها

"Permasalahan mengklaim kafirnya pihak tertentu adalah masalah yang telah dikenal oleh para Ulama. Jika seseorang berkata dengan suatu perkataan yang mengonsekuensikan kekufuran, maka dikatakan kepadanya, "Siapa saja yang mengucapkan perkataan ini maka dia telah kafir". Akan tetapi penilaian terhadap person tertentu (si Fulan) tatkala dia mengucapkan perkataan kufur maka tidak langsung divonis kafir sehingga tegak hujjah atasnya yang menjadikan dirinya kafir lantaran meninggalkan hujjah tersebut." (Ad-Durorus Saniyyah 8/244)

Di sini beliau membedakan antara takfir mutlaq dengan takfir mu'ayyan sebagaimana yang telah ma'ruf di kalangan Ulama. Takfir mutlaq adalah hukum mutlaq bagi siapa saja yang melakukan kekufuran maka dia kafir. Kalimat yang mutlaq ini sebagai ancaman atas perbuatan kufur supaya kaum Muslimin waspada dari kekufuran kendati pelakunya belum bisa divonis kafir. Sedangkan takfir mu'ayyan adalah hukum terhadap individu tertentu dimana si Fulan telah kafir karena telah terpenuhi syarat-syarat untuk dikafirkan dan telah terangkat darinya penghalang-penghalang.

Beliau juga berkata:

وأما ما ذكر الأعداء عني أني أكفر بالظن وبالموالاة أو أكفر الجاهل الذي لم تقم عليه الحجة ، فهذا بهتان عظيم يريدون به تنفير الناس عن دين الله ورسوله 

"Adapun yang disebutkan oleh musuh-musuh dakwah tentang saya, bahwa saya mengkafirkan hanya berdasarkan prasangka dan berdasarkan loyalitas kepada saya, atau saya mengkafirkan orang yang jahil (tidak berilmu) yang hujjah belum tegak atasnya, maka semua itu adalah fitnah yang besar, tujuan mereka ingin menjauhkan manusia dari agama Allah dan Rosul-Nya." (Majmu' Mu'allafat Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab 3/14)

Dan masih banyak lagi keterangan Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab dalam masalah takfir yang menunjukkan beliau bukan orang yang gegabah dalam mengkafirkan dan menghalalkan darah kaum Muslimin. 

Begitu pula dengan para Ulama Salaf yang menjadi rujukan beliu seperti Al-Imam Asy-Syafii, dimana Al-Imam Asy-Syafii mengkafirkan seseorang yang bernama Hafsh Al-Fard lantaran mengatakan Al-Qur'an adalah makhluk. Tentu Al-Imam Asy-Syafii tidak diklaim sebagai orang yang suka mengkafir-kafirkan, karena beliau tidaklah mengkafirkan dan menilai sesat seseorang kecuali setelah ditunjukkan oleh dalil atas kekafirannya dan hujjah telah tegak, wa billahit tawfiq.
__________

Fikri Abul Hasan

Senin, 07 Agustus 2017

Siapakah yang Dimaksud Orang yang Takut dalam Ayat Ini?

Allah berfirman: 

والذين يؤتون ماآتوا وقلوبهم وجلة

"Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan sedang hati mereka dalam keadaan takut." (Al-Mu'minun: 60)

'Aisyah yang berkata, "Aku pernah bertanya kepada Rosulullah tentang ayat ini, “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan sedang hati mereka dalam keadaan takut”, apakah yang dimaksud dalam ayat ini adalah orang yang minum khomr dan mencuri sedang mereka takut kepada Allah?" Beliau menjawab, "Tidak, wahai anak perempuan Ash-Shiddiq, bahkan yang dimaksud adalah orang-orang yang berpuasa, mendirikan sholat dan bersedekah sedang mereka sangat takut kepada Allah jika saja amalannya tidak diterima. Mereka adalah orang-orang yang berlomba-lomba dalam kebaikan." (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Abi Hatim - Tafsir Ibnu Katsir 1/176)

Syaikh Al-'Allamah Robi' bin Hadi Al-Madkholi berkata, "Mukmin yang jujur, kuat imannya, dia beramal sholih dalam keadaan takut kepada Allah jika amalannya tidak diterima, terkadang dia merasa ada yang luput dari syarat-syaratnya maupun kewajiban-kewajibannya dalam beramal." (Syarh Aqidatis Salaf Ash-habil Hadits hal. 189) 

Fikri Abul Hasan

Telegram Channel
https://t.me/manhajulhaq

Jumat, 04 Agustus 2017

Penisbatan Kebatilan kepada Ahlul Haq

Syaikh Al-'Allamah Sholih Al-Fawzan, "Di antara manhaj Jahiliyyah adalah menisbatkan kekufuran dan kesesatan kepada para Nabi, seperti orang Yahudi menisbatkan sihir kepada Nabi Sulaiman, mereka berkata, "Sihir adalah amalannya Nabi Sulaiman, karena dia mampu mengendalikan jin dan syaithon!" Mereka tidak sadar bahwa para syaithon adalah makhluk Allah yang bisa Allah tundukkan sekehendak-Nya.

Orang-orang Yahudi dan Nashroni menisbatkan kekufurannya kepada Nabi Ibrohim 'alaihissholatu wassalam. Mereka berkata, "Inilah agamanya Ibrohim!" Padahal Nabi Ibrohim adalah imamnya orang-orang yang hanif dan bapaknya para Nabi, dan Allah telah membantah klaim mereka dalam firman-Nya:

 ما كان إبراهيم يهوديا ولا نصرانيا ولكن كان حنيفا مسلما وما كان من المشركين

"Ibrohim bukanlah seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nashroni, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang yang musyrik." (Al-'Imron: 67)

Agama Ibrohim adalah agama tauhid, agama yang terbebas dari kesyirikan dan berlepas diri dari kaum musyrikin, bertolak belakang dengan agamanya Yahudi dan Nashroni.

Di antara umat ini ada yang menisbatkan kebatilan kepada diri Nabi shollallahu 'alaihi wasallam. Mereka menyebarkan hadits-hadits palsu untuk menyokong kebatilannya.

Mereka juga menisbatkan diri kepada para Ulama madzhab, padahal aqidah mereka bertolak belakang dengan aqidah para Ulama.

Di antara mereka ada yang menisbatkan diri kepada Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafii, Ahmad, padahal orang-orang yang melakukan penisbatan itu beraqidah mu'tazilah dan asy'ariyyah, lalu dinisbatkanlah aqidah yang batil itu kepada para Salaf yang sesungguhnya paling terdepan memerangi pemikiran mu'tazilah dan bid'ah ahlul kalam." (Syarh Masa'il Jahiliyyah hal. 95)
____________

Fikri Abul Hasan

Mengasah Hati dengan Taqwa

Allah berfirman:

واتقوا الله ويعلمكم الله

"Bertaqwalah kalian kepada Allah, niscaya Allah akan mengajari kalian.” (Al-Baqoroh: 282)

Al-Imam Al-Qurthubi menjelaskan, “Ayat ini janji dari Allah bagi orang yang bertaqwa, bahwa Allah akan mengajari mereka dan menjadikan hati mereka bercahaya dan dianugerahi pemahaman sehingga mampu membedakan al-haq dari al-batil." (Al-Jami' Li Ahkamil Qur'an)

Fikri Abul Hasan

Telegram Channel
https://t.me/manhajulhaq