Senin, 19 Oktober 2015

Sikap yang Benar Terhadap Kematian Al-Husain bin ‘Ali

Di bulan Muharrom ini orang ramai berbicara tentang sejarah terbunuhnya Al-Husain bin ‘Ali bin Abi Tholib salah seorang cucu Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wasallam dari jalur Fathimah rodhiyallahu ‘anha.

Sebagian kalangan berpendapat, pembunuhan Al-Husain adalah pembunuhan terhadap khalifah Islam yang wajib ditaati, dan semestinya segala urusan umat diserahkan kepada beliau. Ini adalah pendapat kelompok Syi’ah Rafidhah yang dikenal mensakralkan Al-Husain radhiyallahu ‘anhu. Sedangkan menurut kalangan yang lain, pembunuhan Al-Husain merupakan tindakan yang tidak bisa dipersalahkan. Pasalnya ia telah memberontak kepada kepemimpinan Yazid bin Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan dinilai ingin memecah belah persatuan kaum Muslimin. Ini adalah pendapatnya kelompok Nashibah yang dikenal dengan kebenciannya terhadap ‘Ali dan keluarga beliau.

Sikap kedua kelompok di atas, Syiah maupun Nashibah, adalah sikap ekstrim yang tidak dapat dibenarkan bila kita menimbangnya dengan timbangan Syariat. Mensakralkan Al-Husain adalah sikap ifroth atau melampaui batas dalam mengagungkan seseorang yang dapat menjerumuskan pelakunya kepada kesyirikan. Sebaliknya membenci Al-Husain dan meridhoi pembunuhannya adalah sikap tafrith atau meremehkan kedudukan beliau yang sesungguhnya memiliki banyak keutamaan. Sedangkan Sunnah Nabi shkllallahu ‘alaihi wasallam membimbing kita untuk bersikap pertengahan antara dua kubu ekstrim tersebut.

Lantas bagaimanakah sikap yang benar sebagai seorang Muslim dalam menyikapi tragedi terbunuhnya Al-Husain bin ‘Ali bin Abi Tholib? 

Sikap Orang-Orang Terhadap Pembunuhan Al-Husain

Syaikh Utsman Al-Khomis menjelaskan, "Tidak disangsikan lagi, peristiwa terbunuhnya Al-Husain rodhiyallahu ‘anhu merupakan musibah besar yang menimpa umat Islam. Beliau terbunuh secara zalim dan teraniaya, begitu pula petaka yang menimpa ahli baitnya. Kendati demikian, para Ulama Ahlissunnah menegaskan, Al-Husain rodhiyallahu ‘anhu wafat dalam keadaan syahid, kemuliaan, terangkatnya derajat beliau, dan kedekatannnya kepada Allah. Sebab Allah telah memilih dirinya untuk bertolak ke negeri Akhirat yang kekal menuju Surga-Nya. Sebagai ganti dari kehidupan dunia ini yang penuh sesak.

Para Ulama juga menegaskan, alangkah baiknya jika Al-Husain tidak keluar menuju Kufah. Meskipun para pembesar Shohabat seperti Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Amr bin Al-‘Ash, Abu Sa’id Al-Khudri, Abdullah bin Az-Zubair, serta kerabat Al-Husain sendiri kala itu tengah melarang beliau dan mencegahnya untuk tidak pergi ke sana. Namun beliau tetap yakin dengan ijtihadnya, bahwa apa yang dipilihnya iitulah yang menepati al-haq sampai akhirnya beliau mati terbunuh secara teraniaya. Demikianlah taqdir Allah, apa yang Allah taqdirkan pasti terjadi sekalipun semua orang tidak menghendakinya.

Sesungguhnya peristiwa terbunuhnya Al-Husain radhiyallahu ‘anhu tidaklah lebih dahsyat jika kita bandingkan dengan terbunuhnya para Nabi ‘alaihisshalatu wassalam. Sebagaimana yang kita ketahui, betapa tragisnya pembunuhan Nabi Yahya ‘alaihissalam dan ayah beliau Nabi Zakariyya. Begitu pula pembunuhan terhadap ‘Umar bin Al-Khotthob, ‘Utsman bin ‘Affan, dan ‘Ali bin Abi Tholib rodhiyallahu ‘anhum. Tentu kedudukan mereka semua lebih utama dibandingkan Al-Husain  rodhiyallahu ‘anhu. Oleh sebab itu, seseorang tidak boleh menampar-nampar wajahnya, atau merobek-robek pakaiannya dan yang semisal itu, manakala mengingat terbunuhnya Al-Husain bin ‘Ali bin Abi Tholib. Camkan sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam berikut:


لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ

“Bukanlah termasuk golonganku orang yang menampar-nampar pipinya dan merobek-robek pakaiannya (saat ada orang yang wafat), dan menyerukan seruan-seruan jahiliyyah.” (HR. Al-Bukhori Bab: “Laysa Minnaa Man Syaqqol Juyub” no. 1294 dan Muslim Bab: “Tahrim Dhorbil Khudud no. 103)

Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:


إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَرِئَ مِنْ الصَّالِقَةِ وَالْحَالِقَةِ وَالشَّاقَّةِ

“Sesungguhnya Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam telah berlepas diri dari “As-Sholiqah”, Al-Haliqoh, dan Asy-Syaqqoh.” (HR. Al-Bukhori Bab: “Ma Yunha ‘Anil Halq ‘indal Mushibah” no. 1296 dan Muslim Bab: “Tahrim Dhorbil Khudud no. 140, 167)

As-Sholiqoh artinya wanita yang menjerit-jerit. Al-Haliqoh artinya wanita yang mencukur rambut. Asy-Syaqqoh, wanita yang merobek-robek pakaiannya. Semua itu dilakukan dalam rangka meratapi kematian seseorang. Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:


النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ

“Orang yang meratapi mayit, jika ia mati dalam keadaan belum sempat bertaubat daripadanya, maka pada hari Kiamat nanti ia akan dikenakan pakaian dari timah yang panas dan baju dari kudis.” (HR. Muslim Bab: “Tasydid fin Nihayah” no. 934)

Justru sikap seorang muslim saat tertimpa musibah, sebagaimana yang Allah firmankan:


الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

“Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan, “Innaa lilaahi wa innaa ilaihi rooji’un” Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali.” (Al-Baqoroh: 156)

Tiga Kelompok dalam Menyikapi Pembunuhan Al-Husain

Syaikh Utsman Al-Khomis menjelaskan, "Ada tiga golongan yang masing-masing memiliki perbedaan sikap terhadap kematian Al-Husain rodhiyallahu 'anhu:

Pertama, kelompok yang berpendapat bahwa pembunuhan Al-Husain merupakan tindakan yang tidak bisa dipersalahkan. Karena ia memberontak kepada seorang pemimpin dan ingin memecah belah persatuan kaum Muslimin. Mereka berargumentasi dengan sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam:

من أتاكم وأمركم جميع على رجل واحد يريد أن يشق عصاكم أو يفرق جماعتكم فاقتلوه

“Barangsiapa yang mendatangi kalian sedang urusan kalian di tangan satu kepemimpinan, mereka ingin memecah belah persatuan kalian, maka bunuhlah dia siapapun orangnya.” (HR. Muslim Bab: “Hukmu Man Farroqo Amrol Muslimin wa Huwa Mujtami” 1852)

Di sini Al-Husain dinilai ingin memecah belah persatuan kaum Muslimin, sedangkan Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapapun orangnya", maka peristiwa pembunuhan Al-Husain tidak bisa dipersalahkan. Ini pendapat kelompok Nashibah yang dikenal kebenciannya terhadap ‘Ali bin Abi Tholib dan keluarga beliau.

Kedua, kelompok yang mengatakan bahwa Al-Husain adalah pemimpin yang wajib ditaati. Semestinya segala urusan umat haruslah diserahkan kepada beliau. Ini adalah pendapatnya kelompok Syiah yang dikenal pengkultusannya terhadap ‘Ali bin Abi Tholib dan keluarga beliau.

Ketiga, kelompok yang berpendapat bahwa Al-Husain rodhiyallahu ‘anhu terbunuh secara zalim. Al-Husain pada waktu itu bukanlah sebagai kholifah dan bukan pula terbunuh sebagai pemberontak. Akan tetapi ia terbunuh dalam keadaan teraniaya dan syahid. Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الحسن والحسين سيدا شباب أهل الجنة

“Al-Hasan dan Al-Husain dua pemimpin para pemuda penduduk Surga.” (HR. At-Tirmidzi dalam Sunan beliau Bab: “Manaqibul Hasan wal Husain” 3768)

Pendapat terakhir yang adil dan pertengahan dan pendapat ini yang dipegang oleh para Ulama Ahlussunnah wal Jamaah.

Amalan yang Diada-adakan Pasca Wafatnya Al-Husain



Syaikhul Islam ibnu Tamiyyah berkata, “Pasca terbunuhnya Al-Husain rodhiyallahu ‘anhu orang-orang membuat amalan yang diada-adakan yang tidak ada tuntunannya dari Rosulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dan para Shohabat beliau yang masih hidup kala itu.

Pertama, mengungkapkan kesedihan dan ratapan yang dilakukan setiap hari ‘Asyuro (10 Muharrom) dengan menampar-nampar wajah, tangisan, kehausan dan melantunkan bait-bait syair kesedihan. Juga amalan-amalan lain yang diada-adakan seperti mencaci dan melaknat para Shohabat Nabi rodhiyallahu ‘anhum dan menggolongkan orang yang tidak berdosa bersama pelaku yang sebenarnya.

Kemudian mereka membacakan peristiwa tentang terbunuhnya Al-Husain yang kebanyakannya berisi kedustaan dan cerita-cerita fiktif. Orang yang membikin amalan yang mengada-ada seperti ini tiada lain bertujuan untuk membuka pintu fitnah dan memecah belah umat. Jika tidak demikian maka apalagi maksud mereka mengulang-ngulang pembacaan peristiwa ini setiap tahun dengan melukai diri hingga berdarah, mengagungkan dan bergantung kepada masa lampau serta mengusap-usap kuburan?

Kedua, bersenang-senang dan bergembira ria dengan membagi-bagikan makanan dan manisan, dan menggembirakan keluarganya pada hari terbunuhnya Al-Husain.

Sebagaimana yang telah diketahui, dahulu di Kufah ada orang-orang yang membela Ahlul Bait yang dipimpin oleh Al-Mukhtar bin Abi Ubaid, seorang pendusta yang mengaku dirinya sebagai Nabi. Di sisi lain ada pula orang-orang yang membenci Ahlul Bait di antaranya Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqofi. Maka penyimpangan tidaklah dibantah dengan penyimpang yang lain, akan tetapi penyimpangan dibantah dengan sunnah Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam. Allah berfirman,  “Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan, “Innaa lilaahi wa innaa ilaihi rooji’uun” Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali.” (Mukhtashor Minhajussunnah 5/554-555 - Hiqbah minat Tarikh hal. 230)
_____________

Fikri Abul Hasan

0 comments:

Posting Komentar