Rabu, 16 September 2020

Tolak Ukur Kebenaran Bukan Jumlah

Sebagian orang ketika bersemangat ingin beramal atau ketika menjumpai perbedaan pandangan yang diikuti mana yang lebih dominan atau lebih populer di masyarakat tanpa melihat landasan ilmunya.

Islam menghendaki umatnya beragama di atas ilmu dan pemahaman yang benar, mengacu kepada dalil-dalil Al-Qur'an was Sunnah dengan bimbingan para Salaf.

Namun apabila seseorang belum memiliki sarana yang menunjang pemahamannya maka ia diwajibkan bertanya kepada ahlinya. Bukan mengandalkan apa yang menjadi kebiasaan masyarakat dengan alasan sudah biasa. Ini yang menjadi kultur masyarakat jahiliyah di masa silam.

Allah berfirman:

ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وساءت مصيرا

"Dan barangsiapa menentang Rosul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, Kami biarkan dia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan dia ke dalam jahannam dan jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali." (An Nisa’: 115)

Al-'Allamah Abdurrohman As-Si'di menjelaskan, "Siapa saja yang menyelisihi Rosul ﷺ setelah jelas kebenaran baginya dengan dalil-dalil Al-Qur'an was Sunnah dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin (yakni para shohabat) dalam beraqidah dan beramal, maka Allah biarkan dia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu." (Taisirul Karim hal. 219)

Maka banyaknya pengikut dan banyaknya orang yang mengamalkan bukanlah ukuran kebenaran. Kebenaran diukur dengan selamatnya manhaj dan benarnya aqidah meski diikuti oleh sedikit orang.

Al-Imam Al-Fudhoil bin Iyadh mewasiatkan:

إتبع طرق الهدى ولا يضرك قلة السالكين وإياك وطرق الضلالة ولا تغتر بكثرة الهالكين

"Ikutilah jalan petunjuk (kebenaran), karena tidak akan merugikanmu sedikitnya orang yang berjalan di atasnya, dan hati-hatilah engkau dari jalan kesesatan dan jangan engkau terpedaya dengan banyaknya orang yang binasa." (Al-I'tishom 1/112)

Fikri Abul Hasan

0 comments:

Posting Komentar