Senin, 08 Februari 2021

Perbedaan Ayat Makkiyyah & Madaniyyah

Ayat-ayat Al-Qur'an turun kepada Nabi ﷺ secara berangsur selama 23 tahun dan mayoritasnya turun di Makkah. 

Ditinjau dari turunnya Al-Qur'an, para ulama membagi ayat menjadi dua kategori yaitu makkiyyah dan madaniyyah. Makkiyyah adalah ayat yang turun kepada Nabi ﷺ sebelum hijroh ke Madinah. Sedangkan madaniyyah ayat yang turun kepada beliau ﷺ pasca hijroh ke Madinah.

Ayat-ayat makkiyyah dan madaniyyah memiliki karakter yang berbeda dari segi uslub (gaya bahasa):

(1). Umumnya ayat-ayat makkiyyah memiliki uslub yang kuat dan ungkapan yang tegas, karena yang diajak bicara orang-orang yang sombong dan para pembangkang. Contohnya surat Al-Qomar dan Al-Muddatstsir.

Adapun ayat-ayat madaniyyah menggunakan uslub yang lembut dan ungkapan yang mudah, karena yang diajak bicara orang-orang yang sudah menerima Islam dan tunduk kepadanya. Contohnya surat Al-Ma'idah.

(2). Ayat-ayat makkiyyah umumnya pendek-pendek dan hujjahnya kuat argumentatif. Adapun ayat-ayat madaniyyah umumnya panjang-panjang dan berbicara seputar hukum yang tidak memerlukan hujjah karena sesuai dengan kondisi mereka. (Ushul Fit Tafsir hal. 15-16)

Fikri Abul Hasan

Rabu, 03 Februari 2021

Siapakah yang Dimaksud Ahli Bid'ah?

Assalamu'alaikum ustadz, saya sering mendengar istilah ahli bid'ah dalam kajian tapi masih abu-abu. Tolong dijelaskan dengan sederhana siapa sebetulnya yang dimaksud ahli bid'ah?

Jawab: Wa'alaikumussalam warohmatullah wabarokatuh. Ahli bid'ah adalah orang yang menyelisihi manhaj atau prinsip Ahlussunnah utamanya dalam perkara aqidah. 

Ahli bid'ah juga disebut "shohib hawa" karena lebih mengedepankan hawa nafsu akalnya, hawa nafsu perasaannya, hawa nafsu masyarakatnya dalam beragama daripada mengikuti sunnah (petunjuk) Nabi ﷺ.

Akan tetapi, perlu diingat, tidak setiap orang yang terjatuh dalam bid'ah langsung dicap ahli bid'ah, apalagi dalam masalah furu' yang masih diperselisihkan para ulama seperti qunut shubuh misalnya.

Seseorang dikatakan ahli bid'ah apabila hujjah telah tegak atas dirinya sedang dia tetap bersikukuh di atas kebid'ahannya. Ini yang dimaksud ahli bid'ah menurut para ulama.

Syaikh Al-'Allamah Abdul Aziz bin Baz berkata,

فالذي يصر على الاحتفال بالمولد أو بالموالد الأخرى يسمى مبتدع حتى يتوب والذي يصر على البناء على القبور والصلاة عند القبور أو بناء المساجد عليها أو قراءة الكتب عليها يسمى مبتدع

"Orang yang terus-menerus merayakan maulid Nabi atau maulid-maulid yang lain maka dia disebut ahli bid'ah sampai dia bertaubat kepada Allah. Orang yang terus-menerus membikin bangunan di atas kuburan, sholat di sisi kuburan, membangun masjid di atasnya, membaca kitab-kitab di atas kuburan maka dia disebut ahli bid'ah..." (Via binbaz.org.sa/noor/1838)

Namun, para ulama membedakan sikap terhadap ahli bid'ah dan terhadap para pengikutnya yang terjerumus dalam kebid'ahan.

Hal ini disampaikan oleh Syaikh Al-'Allamah Robi' bin Hadi Al-Madkholi, beliau mengatakan,

"Tidak setiap orang yang berbuat bid'ah diisolir, mereka medan dakwah kita dan kita berusaha mengajak mereka kembali ke jalan Allah dengan cara yang hikmah dan nasihat yang baik. Adapun para dainya yang mengajak manusia kepada kebatilan melalui buku-buku, majalah, rekaman, ceramah, maupun media sosial, maka kita membantah mereka dan memperingatkan manusia dari bahaya penyimpangan mereka, tidak duduk bersama mereka, tidak pula mengambil faidah dari mereka." (Majmu'ah Kutub wa Rosa'il 2/351)

Beliau juga menyebutkan kelompok-kelompok ahli bid'ah secara lebih spesifik agar kaum muslimin tidak terpengaruh oleh pemikiran mereka,

"Ahli bid'ah itu seperti Syiah Rofidhoh, Khowarij, Jahmiyyah, Qodariyyah, Mu'tazilah, Shufiyyah, Quburiyyah, Murjiah dan yang mengikuti manhaj mereka seperti Ikhwanul Muslimin, Jamaah Tabligh, dan kelompok-kelompok semisalnya." (Al-Mauqifus Shohih min Ahlil Bida' hal. 27)

Para salaf senantiasa memperingatkan manusia dari bahaya bid'ah dan ahli bid'ah, karena mereka racun yang membinasakan, merusak manhaj dan aqidah, jembatan menuju kesyirikan dan kekufuran, dan menghalangi orang dari mutaba'ah. Dan bid'ah itu dikatakan para ulama lebih disukai iblis daripada maksiat.

Berikut nasihat dan peringatan para salaf dari bahaya duduk-duduk di majelis ahli bid'ah dan bergaul dengan mereka:

Ibnu Abbas berkata,

لا تجالس أهل الأهواء فإن مجالستهم ممرضة للقلوب

"Janganlah engkau duduk-duduk bersama para pengekor hawa nafsu (ahli bid'ah) karena duduk bersama mereka akan menjadikan hatimu berpenyakit." (Riwayat Al-Ajurri dalam "Asy-Syari’ah" 1/453)

Sa'id bin Jubair berkata,

لأن يصحب ابني فاسقا شاطرا سنيا أحب إلى من أن يصحب عابدا مبتدعا

"Anakku bersahabat dengan orang yang fasiq buruk akhlaq tetapi dia Ahlussunnah itu masih lebih aku sukai daripada bersahabat dengan ahli ibadah tetapi dia ahli bid'ah." (Al-Ibanatus Shughro nomor 89)

Al-Fudhoil bin Iyadh berkata, 

“Siapa yang duduk dengan ahli bid’ah maka berhati-hatilah darinya dan siapa yang duduk dengan ahli bid’ah tidak akan diberi hikmah. Dan aku ingin jika saja antara diriku dan ahli bid’ah ada benteng besi yang memisahkan. Sungguh aku makan di sebelah orang Yahudi dan Nashroni masih lebih aku sukai daripada aku makan di sebelah ahli bid’ah.” (Syarh Ushul I'tiqod Ahlissunnah nomor 1149)

Beliau juga berkata, "Barangsiapa yang memuliakan ahli bid'ah maka sungguh dia sedang bahu-membahu merobohkan Islam." (Al-Ibanatus Shughro nomor 187)

Dan masih banyak lagi nasihat dan peringatan keras dari para salaf yang semua itu menunjukkan kepedulian mereka terhadap aqidah kaum muslimin. 

Kendati demikian, ahli bid'ah yang masih memiliki hak sebagai seorang muslim maka dipelihara hak-haknya dalam bermuamalah. Namun, bid'ahnya tetap dibantah dan manusia diperingatkan darinya, wa billaahit tawfiq.

Fikri Abul Hasan

Benarkah Syaikh Al-Albani Bukan Ahli Hadits?

Assalamu'alaikum, ustadz mohon penjelasan dari tulisan di bawah ini barokallahu fik:

Al-Albani tidak mempelajari hadis dari para ahlinya ini dibuktikan dalam kitab-kitab biografi tentang Al-Albani yang ditulis oleh para pengikutnya seperti "Hayatu al-Albani" karya Asy-Syaibani, "Tsabat Muallafat al-Albani" karya Abdullah bin Muhammad Asy-Syamrani dan sebagainya.

Pada umumnya tatkala kita membuka kitab-kitab biografi para ulama, di depan mukaddimah terdapat sejarah tentang perjalanan menuntut ilmu dan para gurunya. Namun hal ini tidak terjadi dalam buku-buku biografi Al-Albani justru yang disebutkan oleh pengikutnya adalah untaian kalimat miris berikut ini:

عرف الشيخ الألباني رحمه الله بقلة شيوخه وبقلة إجازاته فكيف استطاع أن يلم بالعلوم ولا سيما علم الحديث  ولا علم الجرح والتعديل علىصعوبته؟

"Syaikh Albani dikenal dengan sedikitnya guru dan minimnya ijazah dalam hadis. Maka bagaimana ia mampu memperdalam ilmu-ilmu, apalagi ilmu hadis dan ilmu tentang metode memberi penialaian cacat dan adil yang sangat sulit?" (Tsabat Muallafat Al-Albani karya Abdullah bin Muhammad asy-Syamrani, 7)

Ini adalah sebuah pengakuan dan pertanyaan yang tak pernah dijawab oleh muridnya sendiri?!

Jawab: Wa'alaikumussalam warohmatullah wabarokatuh. Penulis syubhat di atas berusaha menggiring para pembaca dengan cara yang tidak jujur dan jauh dari amanah ilmiyah.

Referensi yang dilansir oleh penulis seperti risalah "Hayatu Al-Albani" sebetulnya berisi pembelaan dan pengakuan para ulama kepada Syaikh Al-'Allamah Al-Albani terkait kepakaran beliau dalam ilmu hadits.

Antara lain seperti yang dinyatakan oleh Syaikh Al-'Allamah Abdul Aziz bin Baz seorang ulama mufti dunia. Beliau mengatakan:

ما رأيت تحت أديم السماء عالما بالحديث في العصر الحديث مثل العلامة محمد ناصر الدين الألباني

“Aku belum pernah melihat di kolong langit ini orang yang pakar dalam ilmu hadits di masa kini semisal Al-‘Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani.”

Ucapan Syaikh bin Baz ini dinukil dalam "Hayatu Al-Albani" oleh Asy-Syaibani halaman 65.

Kemudian juga ketidakjujurannya dalam mengutip risalah, "Tsabat Mu'allafat Al-Albani" oleh Asy-Syamroni. Risalah ini juga berisi pengakuan para ulama dan pembelaannya kepada Syaikh Al-Albani. 

Adapun yang dikutip oleh penulis sebetulnya pertanyaan syubhat yang hendak dijawab di dalam risalah tersebut, bukan pernyataan seperti yang diframing oleh penulis.

Tampak sekali sembrononya kebencian penulis kepada Syaikh Al-Albani sehingga dirinya tidak mampu berlaku adil, tidak jujur dan tidak amanah dalam menukil.

Syaikh Al-'Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, muhaddits Yaman, beliau pernah mengatakan, 

“Sungguh tidak ada (di zaman ini) yang menandingi Syaikh Al-Albani dalam ilmu hadits, sungguh Allah telah memberi manfaat yang besar terhadap ilmu beliau dan kitab-kitabnya. Orang-orang yang mencela Syaikh Al-Albani dan keilmuannya tiada lain mereka adalah ahli bid’ah pengekor hawa nafsu. Mereka sesungguhnya membenci Ahlussunnah dan ingin membuat orang lari dari sunnah.” (Iqomatul Burhan hal. 6-7)

Jika Anda ingin mengenal sejauh mana keahlian Syaikh Al-Albani dalam ilmu hadits, ada baiknya Anda telaah karya beliau yang berjudul, "Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah" 11 jilid tebal dan "Silsilah Al-Ahadits Adh-Dho'ifah wal Maudhu'ah" 17 jilid tebal.

Di sana Anda akan mengetahui siapa sebetulnya sosok Syaikh Al-'Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani seperti yang diakui oleh para ulama.

Fikri Abul Hasan

Mengenal Al-Qur'an

Secara bahasa Al-Qur'an bentuk dasar dari kata qoro'a yang bermakna tala (membaca) atau jama'a (menghimpun).

Dari pengertian itu, maka makna Al-Qur'an adalah sesuatu yang dibaca atau penghimpun karena mengumpulkan berita dan hukum.

Sedangkan menurut istilah, Al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah) yang diturunkan kepada Rosul-Nya, penutup para Nabi yaitu Nabi Muhammad ﷺ, diawali dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas. Allah berfirman:

إنا نحن نزلنا عليك القرآن تنزيلا

"Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an kepadamu (Muhammad) secara berangsur-angsur." (Al-Insan: 23)

Faidah kitab "Ushul Fit Tafsir" hal. 6

Fikri Abul Hasan

Pentingnya Hikmah dalam Berdakwah

Syaikhul Islam Muhammad bin Abdil Wahhab (yang acapkali dilabeli Wahhabi oleh sebagian orang) dalam perjalanan safarnya ke Makkah, beliau melihat ada salah seorang alim dari ulama Makkah yang beliau merasa takjub dengan ilmu yang disampaikan di majelisnya.

Ulama ini, seusai mengisi pelajaran, beliau bangkit dari tempat duduknya sembari berkata, "Yaa Ka'batallah..!" (wahai Ka'bah Allah dimaksudkan memohon kepada Ka'bah).

Hal itu dianggap bukan masalah sepele oleh Syaikh Muhammad, lantaran perkataannya itu termasuk ucapan syirik sedang ulama tersebut tidak menyadarinya.

Maka Syaikh Muhammad berupaya untuk mengingatkannya dengan cara yang tenang dan hikmah. Beliau mendatangi ulama tersebut dan sebelumnya beliau mengakui keilmuannya dan mengucapkan jazaakallah kher. 

Lalu beliau berkeinginan membacakan hafalan surat-surat kepada ulama tersebut dan ulama itu pun menyambutnya. Tibalah beliau membaca surat Quraisy yang semestinya dibaca, "Fal ya'buduu robba haadzal bait.." (maka hendaklah mereka menghamba kepada Robbnya Ka'bah ini), tetapi beliau sengaja membacanya dengan, "Fal ya'buduu haadzal bait.." (maka hendaklah mereka menghamba kepada Ka'bah ini).

Mendengar kesalahan bacaannya itu, si ulama memperbaikinya dengan mengajari bacaan yang benar, "Fal ya'buduu robba haadzal bait.." (maka hendaklah mereka menghamba kepada Robbnya Ka'bah ini), sembari menegaskan ibadah itu hanya untuk Allah bukan untuk Ka'bah.

Syaikh Muhammad berkata, "Aku membaca seperti itu karena aku mempelajarinya dari engkau wahai Syaikh, aku mendengar engkau bangkit dari tempat dudukmu mengucapkan, "Yaa Ka'batallah..!"

Maka ulama tersebut meralat ucapannya dan mendoakan kebaikan bagi Syaikh Muhammad, "Fatahallahu 'alaik wa jazaakallah kher". (Syarh Al-Kafiyah 4/410 dengan sedikit penyesuaian)

Faidah yang dapat kita ambil dari kisah ini bahwa siapa saja yang menginginkan kebaikan orang lain hendaklah dia menempuh sikap hikmah sekalipun terhadap orang yang bersebrangan dengannya.

Adakalanya seseorang itu terjatuh dalam kesalahan karena dia tidak menyadarinya atau karena kelemahannya, bukan karena sengaja-sengaja menentang Allah dan Rosul-Nya ﷺ.

Fikri Abul Hasan

Batasan Tasyabbuh Bil Kuffar

Ada batasan-batasan yang disebutkan oleh para ulama terkait tasyabbuh bil kuffar (menyerupai orang kafir):

(1). Meniru hal-hal yang menjadi ciri khas orang kafir baik menyangkut agama mereka maupun kebiasaan mereka maka ini termasuk tasyabbuh meski tidak bermaksud menyerupai mereka.

(2). Menyelisihi orang kafir baik asal perbuatannya maupun cara yang dilakukannya. Contoh perbuatan yang berasal dari orang kafir seperti perayaan ulang tahun, perayaan tahun baru, perayaan hari ibu, perayaan valentine. Kaum muslimin tidak diperbolehkan melakukan hal tersebut karena termasuk tasyabbuh.

Cara-cara orang kafir contohnya seperti orang-orang Yahudi dan Nashoro berpuasa tanpa makan sahur maka Rosulullah ﷺ menyelisihi cara mereka dengan mensyariatkan makan sahur.

(3). Meniru produk orang kafir, industri mereka, perdagangan mereka, makanan dan minuman mereka, pakaian mereka atau hal-hal menyangkut urusan dunia selama itu bukan ciri khas mereka dan tidak melanggar syariat maka itu tidak terlarang.

Perkara ini penting untuk diketahui oleh setiap muslim karena syariat Islam dibangun di atas penyelisihan terhadap agama-agama lain serta kebiasaan yang menjadi ciri khas mereka.

Dari Ibnu Umar, Rosulullah ﷺ bersabda:

من تشبه بقوم فهو منهم

"Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari kaum itu." (HR. Ahmad dan Abu Dawud Syaikh Nashir berkata "Hasan Shohih" dalam "Shohih Abi Dawud" 3401)

Fikri Abul Hasan

Dua Kelompok Perusak Dakwah

Dihikayatkan dari sebagian ulama:

ﺇﻥ ﻟﻠﺸﻴﻄﺎﻥ ﻣﻊ ﺑﻨﻲ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﻭﺍﺩﻳﺎﻥ ﻻ ﻳﺒﺎﻟﻲ ﻓﻲ ﺃﻳﻬﻤﺎ ﻫﻠﻚ ﻭﺍﺩ ﻣﻦ ﺍﻟﻐﻠﻮ ﻭ ﻭﺍﺩ ﻣﻦ ﺍﻟﺘﻘﺼﻴﺮ

“Syaithon memiliki dua lembah yang dihadapkan kepada anak manusia. Dia tidak peduli di lembah mana manusia akan binasa. Yaitu lembah al-ghuluw (melampaui batas), dan lembah at-taqshir (bermudah-mudahan)."

Melampaui batas dalam beragama maupun bermudah-mudahan, keduanya perbuatan yang membuka pintu fitnah dan menjatuhkan wibawa dakwah.

Syaikh Al-'Allamah Robi' bin Hadi Al-Madkholi menasihatkan:

واعلموا أن الذين جندوا الحرب الدعوة السلفية صنفان من الناس

"Ketahuilah, bahwa orang-orang yang mengerahkan perlawanan terhadap dakwah Salafiyyah ini ada dua model:

صنف يميع هذا الدين ، فتراه يماشي الخرافيين وأهل البدعة والأحزاب والعلمانيين وغيرهم ويريدك أن تغض الطرف عن البدع والضلالات 

Pertama, kelompok yang bersikap lembek bermudah-mudahan dalam beragama. Maka engkau akan melihat mereka berjalan bersama khurofiyyin (pengandrung khurofat), ahlul bid'ah, hizbiyyin, orang-orang sekuler, dan selainnya. Mereka ingin supaya engkau menutup mata dari bid'ah-bid'ah maupun kesesatan.

وصنف آخر متعنت متشدد متزمت وكلهم كذابون ، لا يريدون إلا الإضرار بالدعوة السلفية وأهلها ، فعليكم بالوسط والإعتدال والجد في تحصيل العلم ، والجد والاستماته في نشر هذه الدعوة بالحكمة والموعظة الحسنة والأخلاق العالية 

Kedua, kelompok yang bersikap ekstrim, keras dan kaku, mereka semua adalah para pendusta. Mereka hendak merusak dakwah Salafiyyah dan orang-orang yang mengikutinya. Maka wajib atas kalian untuk mengambil sikap pertengahan dan berlaku adil, senantiasa bersungguh-sungguh dalam meraih ilmu, bersungguh-sungguh dan berkorban dalam menyebarkan dakwah dengan cara yang hikmah, nasihat yang baik, serta akhlaq yang mulia." (Al-Lubab Min Majmu' Nasho'ih wa Tawjihat Asy-Syaikh Robi' Lisy Syabab hal. 133)

Fikri Abul Hasan

Tiga Pilar Kebaikan: Ilmu, Pemahaman, Tadabbur

Ali bin Abi Tholib rodhiyallahu 'anhu berkata:

لا خير في عبادة لا علم فيها ولا خير في علم لا فهم فيه ولا خير في قراءة لا تدبر فيها

"Tidak ada kebaikan dalam ibadah yang tidak dilandasi ilmu, tidak ada kebaikan pada ilmu yang tidak ditopang dengan pemahaman, tidak ada kebaikan dalam membaca Al-Qur'an yang tidak disertai tadabbur." (Shifatus Shofwah hal. 325)

Ilmu adalah pokok dari segala sesuatu. Ilmu akan menyelamatkan seseorang dari sikap ikut-ikutan dalam beragama. Umar bin Abdil Aziz berkata, "Orang yang beribadah tanpa ilmu lebih banyak merusak daripada memperbaiki."

Ilmu tidak akan menyampaikan pemiliknya kepada tujuan bila tidak didukung oleh al-fahmu (pemahaman yang benar). Yaitu memahami firman Allah dan sabda Nabi ﷺ sesuai maksud syariat. Karenanya para ulama memperingatkan, "Banyak orang yang diberi ilmu namun tidak dianugerahi pemahaman."

Hakikat tilawah bukan sekedar membaca ayat demi ayat atau mempelajari tajwidnya. Akan tetapi mentadabburinya yaitu memahami ayat-ayat Qur'an sehingga dapat mengambil pelajaran darinya dan beramal dengannya. Inilah yang dimaksud firman Allah, "Mereka membacanya (Al-Qur'an) dengan bacaan yang sebenar-benarnya." (Al-Baqoroh: 121)

Fikri Abul Hasan

Masa-Masa Fitnah

Kalimat berikut sering dinisbatkan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan banyak disebarluaskan:

ليس كل من تحلى بالسنة صار سنيا ولكن الفرق عند الفتن تعرف الرجال والمعصوم من عصمه الله

"Tidaklah setiap orang yang berhias dengan sunnah lantas menjadi Ahlussunnah, tetapi yang membedakan manakala terjadinya banyak fitnah, di sana akan diketahui hakikat keadaan masing-masing orang. Sedangkan yang ma'shum adalah orang yang Allah menjaganya." (Majmu' Fatawa 9/315)

Setelah kami telusuri ke jilid dan halaman terkait redaksi tersebut tidak kami jumpai, wallahu a'lam. Terlepas dari keabsahan penisbatannya, ucapan tersebut patut menjadi ibroh.

Fikri Abul Hasan

Melihat Nabi ﷺ dalam Kondisi Sadar?

Ahsanallah ilaikum ustadz, apakah mungkin melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam secara langsung setelah beliau wafat seperti yang diakui sebagian orang? 

Jawab: Orang yang mengaku melihat Nabi ﷺ dalam kesadarannya hanya di antara dua kemungkinan. Kemungkinan pertama dia berdusta meski bersumpah atas nama Allah. Kemungkinan kedua yang mendatanginya adalah syaithon dari kalangan jin yang mengaku sebagai sosok Nabi ﷺ.

Syaithon memang tidak mampu menyerupai diri Nabi ﷺ, akan tetapi dia bisa berdusta mengaku sebagai Nabi untuk menyesatkan orang yang jauh dari aqidah yang benar. 

Pengakuan-pengakuan semacam itu telah diingkari oleh para ulama antara lain Al-Imam As-Sakhowi salah seorang ulama Syafiiyyah, beliau berkata:

لم يصل إلينا ذلك عن أحد من الصحابة ، ولا عن من بعدهم وقد اشتد حزن فاطمة عليه‏ صلى الله عليه وسلم حتى ماتت كمدا بعده بستة أشهر - على الصحيح- وبيتها مجاور لضريحه الشريف، ولم ينقل عنها رؤيته فى المدة التى تأخرت عنه

"Tidaklah sampai kepada kami pengakuan seperti itu dari seorangpun dari para shohabat Nabi, tidak pula dari orang-orang sepeninggal para shohabat. Sungguh dulu Fathimah telah dirundung duka lantaran wafatnya Nabi ﷺ sehingga Fathimah meninggal dunia karenanya setelah enam bulan menurut pendapat yang shohih. Sedangkan rumah Fathimah berdekatan dengan makam Nabi yang mulia, namun tidak ada riwayat yang menyebutkan Fathimah pernah melihat Nabi ﷺ selama itu dalam keadaan sadar." (Al-Mawahibul Laduniyah 5/295)

Fathimah adalah puteri beliau ﷺ, orang yang dicintai beliau dan jarak rumah beliau berdekatan dengan makam Nabi ﷺ,  tetapi tidak pernah Fathimah mengaku didatangi Nabi ﷺ. Padahal Fathimah orang yang lebih berhak dibanding orang lain di zaman ini.

Para ulama kontemporer juga mengingatkan:

وأما دعوى بعض الصوفية أنه يرى النبي صلى الله عليه وسلم يقظة فشيء لا أصل له ، بل هو باطل وإنما يرى صلى الله عليه وسلم يوم القيامة 

"Adapun pengakuan sebagian orang-orang Shufi yang mengaku melihat Nabi ﷺ dalam kondisi sadar maka itu perkara yang tidak ada asalnya sama sekali, bahkan itu jelas kebatilan, Nabi ﷺ hanyalah dapat dilihat secara langsung pada hari kiamat." (Fatwa Lajnah no. 5553 ketua Syaikh Al-'Allamah bin Baz)

Semoga Allah senantiasa membimbing kita kepada manhaj yang lurus dan aqidah yang benar di masa orang lebih mementingkan persatuan daripada bersihnya hati dari kesyirikan dan kekufuran.

Fikri Abul Hasan