Rabu, 16 Oktober 2019

Ada Hizbiyyah di antara Salafiyyin (?)

Hizbiyyah artinya melakukan pengelompokkan tanpa dalil, membangun al-wala' (loyalitas) dan al-baro’ (kebencian) di atasnya dan saling berbangga satu sama lain. Allah telah mengingatkan dalam firman-Nya:

ولا تكونوا من المشركين من الذين فرقوا دينهم وكانوا شيعا كل حزب بما لديهم فرحون

"Dan janganlah kamu seperti orang-orang musyrik yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka sehingga mereka menjadi beberapa golongan dan tiap-tiap hizb (golongan) itu merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (Ar-Rum: 31-32)

Hizbiyyah hukumnya harom tergolong tasyabbuh kepada kaum musyrikin meski mengusung nama yang syar'i seperti Ahlussunnah atau Salafy. Dahulu di antara shohabat terjadi percekcokan dan masing-masing mengangkat nama yang syar'i yaitu salah satunya mengusung Muhajirin dan yang lain mengusung Anshor, namun karena tujuannya tercela maka hal itu diingkari oleh Rosulullah ﷺ dan beliau katakan itu seruan Jahiliyah. 

Oleh sebab itu para Ulama senantiasa mengingatkan bahaya hizbiyyah ini karena bisa menimpa siapa saja, seperti yang diperingatkan Syaikh Al-'Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dalam kitabnya “Al-Makhroj minal Fitnah” hal. 12 beliau mengutip nasihat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang patut kita renungkan bersama:

“Tidak seharusnya para mu’allimin (asatidzah) membikin “hizbiyyah” (mengotak-ngotakkan) manusia yang mengakibatkan permusuhan dan saling melempar kebencian. Bahkan semestinya hubungan di antara mereka seperti ikhwah yang saling tolong-menolong dalam kebaikan dan taqwa sebagaimana firman Allah ta’ala:

“Dan saling tolong-menolonglah kalian di atas kebaikan dan taqwa dan jangan kalian saling tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” (Al-Ma’idah: 2)

Janganlah salah seorang di antara mereka menuntut kesepakatan dari orang lain untuk membelanya dalam segala perkara yang dia kehendaki serta menuntut loyalitas kepada orang yang dicintainya, dan menuntut permusuhan terhadap orang-orang yang dia benci. Perbuatan semacam ini persis seperti yang dilakukan oleh “Jenghis Khan” dan orang-orang yang semisal dirinya. Dimana dia menjadikan orang-orang yang mencocoki sikap hizbiyyahnya itu sebagai kawan yang diberi loyalitas, sedangkan orang-orang yang menyelisihi hizbiyyahnya sebagai lawan yang disikapi dengan berlepas diri.

Bahkan sesungguhnya yang menjadi kewajiban atas mereka serta orang-orang yang mengikuti mereka adalah menuntut kesepakatan di atas agama Allah dan Rosul-Nya yakni dengan menaati Allah dan Rosul-Nya dan berusaha menunaikan apa yang Allah dan Rosul-Nya perintahkan, dan mengharomkan apa yang Allah dan Rosul-Nya larang, serta berusaha menjaga hak-hak para mu’allimin seperti yang diperintahkan oleh Allah dan Rosul-Nya ﷺ.

Maka apabila salah seorang Ustadz dari salah satu pihak itu dizalimi maka dia wajib membelanya. Namun jika Ustadz tersebut ternyata sebagai pihak yang zalim maka dia tidak boleh dibela di atas kezalimannya itu. Bahkan semestinya dia berusaha mencegah sang Ustadz dari kezalimannya tersebut. Hal itu sebagaimana yang tsabit dalam shohih Al-Bukhori bahwa Nabi ﷺ bersabda:

“Tolonglah saudaramu dalam keadaan zalim atau dizalimi. Ada yang bertanya, Wahai Rosulullah, aku menolongnya kalau ia dizalimi, lantas bagaimana caranya aku menolongnya jika ia zalim? Rosulullah menjawab, “Cegahlah dia dari berbuat zalim, itulah bentuk pertolonganmu kepadanya....”

Dan apabila terjadi permusuhan dan percekcokan di antara mu’allimin (asatidzah) atau di antara murid, ustadz dengan muridnya, maka tidak boleh bagi siapapun menolong salah satu pihak di antara mereka sampai ia mengetahui betul siapa yang benar dan siapa yang salah. Maka janganlah ia menolongnya di atas kejahilan (kebodohan) ataupun hawa nafsunya. Akan tetapi semestinya ia selidiki dulu duduk persoalannya. Apabila telah jelas baginya al-haq, maka ia bela pihak yang benar dan tidak membela pihak yang batil. Baik pihak yang benar itu adalah kawan-kawannya atau bukan, atau pihak yang batil itu adalah kawan-kawannya atau bukan. Sehingga yang menjadi tujuan utama hanyalah beribadah kepada Allah semata serta menaati Rosul-Nya, dan mengikuti kebenaran serta menegakkan keadilan. Allah ta’ala berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi-saksi karena Allah sekalipun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan karib kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kalian memutar-balikkan kata-kata atau berpaling, maka sesungguhnya Allah Mahateliti atas segala apa yang kalian kerjakan.” (Majmu’ Fatawa 28/13)

Demikian sikap yang diajarkan oleh para Ulama yaitu mengedepankan ilmu dan keadilan dalam menghukumi permasalahan. Namun apabila seseorang belum mampu meneliti maka sebaiknya diam tidak ikut berkomentar, tidak ikut-ikutan dan serahkan permasalahan tersebut kepada ahlinya.

Satu hal yang perlu kita ingat bersama, bahwa Ahlussunnah setinggi apapun ilmunya tetap masih berpeluang terjatuh dalam kesalahan karena tidak ada yang ma'shum selain Rosulullah ﷺ. Di kalangan Salaf sendiri perselisihan pendapat itu perkara yang lumrah terjadi. Perselisihan itu tidak hanya menyangkut masalah fiqh seperti cara sholat dan jual beli, bahkan terkadang menyinggung perkara aqidah. 

Namun apabila seseorang diketahui di atas ilmu dan pemahaman yang benar, landasannya mengikuti Al-Qur'an was Sunnah serta ijma' Salaf, berloyalitas dengan Ahlussunnah, berlepas diri dari bid'ah dan ahlinya maka bila terjatuh dalam kesalahan-kesalahan tidak lantas mengeluarkan dirinya dari Ahlussunnah. Dalam konteks ini Al-Imam Al-Khollal berpesan, "Mengeluarkan orang dari sunnah bukan perkara yang ringan."

Fikri Abul Hasan

0 comments:

Posting Komentar