Di antara perusak-perusak ilmu yang diperingatkan oleh para ulama dan harus dijauhi oleh para tholabatul 'ilmi adalah sebagai berikut:
(1). Kelalaian.
Lalai menjadi penghalang terbesar bagi para pembelajar untuk memahami ilmu yang dipelajarinya.
Allah berfirman,
ولا تكن من الغافلين
“Janganlah engkau termasuk orang-orang yang lalai.” (Al-A’rof: 205)
Lawannya lalai adalah kesungguhan dan kesabaran. Dari Abu Huroiroh bahwa Rosulullah ﷺ mengingatkan, “Bersemangatlah dalam meraih hal bermanfaat bagimu dan minta tolonglah pada Allah dan jangan merasa lemah.” (HR. Muslim 2664)
Lihat bagaimana kesungguhan dan kesabaran para ulama dalam tholabul 'ilmi. Di antara mereka ada yang mempelajari kitab "Shohih Al-Bukhari" hanya beberapa malam seperti Al-Khothib Al-Baghdadi.
Ada yang menghabiskan waktunya dalam sehari untuk mempelajari 12 bab ilmu yang berlainan seperti Al-Imam An-Nawawi.
Berkat kesungguhan dan kesabaran Allah karuniakan baiknya pemahaman dan kesholihan dalam beramal. Sebab itu Yahya bin Abi Katsir mengingatkan puteranya, "Sungguh ilmu ini tidak akan dicapai dengan badan yang santai."
(2). Ujub.
Ujub artinya kagum terhadap dirinya sendiri lantaran punya kelebihan. Ujub termasuk penyakit hati yang sering tidak disadari oleh penderitanya.
Al-Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah berkata, “Tidak ada suatu perkara yang lebih merusak amalan daripada ujub dan berlebihan memandang diri berjasa.” (Al-Fawa’id hal. 147)
Pengaruh ujub ini sangat berbahaya karena merusak keikhlasan akibatnya ilmu yang dipelajari tidak barokah. Sedangkan lawan dari ujub adalah tawadhu' dan menyadari aibnya diri.
(3). Kesombongan.
Sombong didefinisikan oleh Nabi ﷺ yaitu menolak kebenaran dan menghinakan manusia.
Orang yang sombong dengan ilmunya menjadikan dirinya suka berjidal (berdebat) dalam hal yang tidak perlu. Dia mencari-cari dalil untuk mendapat pembenaran, menolak kebenaran, serta melontarkan tuduhan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Perusak ilmu adalah kesombongan.” (Ar-Rodd ‘ala Asy-Syadzili hlm. 207)
Lawannya sombong adalah khudhu' yaitu ketundukan kepada kebenaran.
(4). Mengandalkan Logika.
Beragama dengan otak atik otak ini juga termasuk perusak yang sangat berbahaya. Sehingga seseorang lancang mendahului Allah dan Rosul-Nya ﷺ atau lebih menuruti tradisi daripada mengikuti petunjuk dalil Al-Qur'an was Sunnah dengan bimbingan para salaf.
Allah berfirman,
يا أيها الذين آمنوا لا تقدموا بين يدي الله ورسوله واتقوا الله إن الله سميع عليم
“Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendahului Allah dan Rosul-Nya, bertaqwalah kalian kepada Allah, karena sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Hujurot: 1)
Al-Imam Al-Auza’i (157 H) berkata, “Wajib engkau berpegang dengan atsar sekalipun orang-orang menolakmu dan hati-hatilah engkau dari logika-logika orang meskipun mereka menghiasinya dengan berbagai omongan. Karena perkara agama ini telah sangat jelas dengan petunjuk Nabi ﷺ dan para shohabat dan bila engkau beragama di atas dasar itu maka engkau telah berjalan di atas shirothol mustaqim.” (Al-Adabus Syar’iyyah 2/70)
(5). Tidak Memperhatikan Adab.
Adab di sini mencakup adab seorang tholib terhadap dirinya, adab dalam mengikuti pelajaran, adab terhadap guru, adab terhadap kawan dan yang lainnya dari adab-adab ilmu.
Bermanfaatnya ilmu seseorang berbanding lurus dengan baiknya adab. Karenanya orang yang beradab terhadap ilmu menunjukkan dia menghargai ilmu sehingga dia pantas mendapatkan ilmunya.
Yusuf bin Al-Husain (304 H) berkata, "Dengan memelihara adab engkau akan mudah memahami ilmu." (Iqtidho'ul 'Ilmi hal. 31)
Al-Imam Al-Qorofi Al-Maliki (684 H) berkata, “Sedikit adab lebih baik daripada banyaknya amal. Ruwaiyim menasihati puteranya, “Wahai anakku, jadikanlah amalmu ibarat garam sedangkan adabmu ibarat tepung. Perbanyaklah adab hingga perbandingan banyaknya seperti perbandingan tepung dan garam dalam sebuah adonan. Banyak adab meski sedikit amal masih jauh lebih baik ketimbang banyak amal namun kurang adab.” (Al-Furuq 4/272)
Fikri Abul Hasan